
06 May BAHAN BAKU BIODIESEL HARUS BERSIH
Telah kita ketahui Indonesia memiliki predikat yang luar biasa di internasional di sektor sawit, menjadi negara perkebunan sawit terluas di dunia 14,60 juta hektar, Produksi CPO 2019 mencapai 51,9 juta ton, meningkat 9% dari produksi 2018 sebesar 47 juta ton CPO ( GAPKI). Sebagai exportir terbesar CPO 54% pasar dunia, dan menggeser Malaysia yang hanya 32%, dan sudah berlansung sejak 2016. Setiap tahunnya ekspor terus meningkat kurang lebih 75% dari produksi CPO sisanya baru untuk kebutuhan dalam negeri.
Negara penghasil CPO 2019
Negara | Ton |
Indonesia | 43.000.000 |
Malaysia | 20.700.000 |
Thailand | 3.000.000 |
Kolombia | 1.680.000 |
Negeria | 1.015.000 |
Guetamala | 852.000 |
Ecuador | 630.000 |
PNG | 630.000 |
Honduras | 580.000 |
Brazil | 540.000 |
Total | 72.627.000 |
https://www.wartaekonomi.co.id/read235724/10-negara
Tentunya menjadi satu kebanggaan bagi pemerintah karena menjadi pemain besar dalam sektor perkebunan sawit dan turunannya. Dari luasnya perkebunan sawit dan produksi yang besar ternyata investasi terbesar dikuasai oleh PMA dari Singapura dan Malaysia (https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/akWLvw4K-investasi-asing-di-perkebunan-sawit-dominasi-sektor-pertanian).
Sementara PMDN hanya 9%, bahkan di tahun 2013 PMA di sektor pertanian dan perkebunan 91%. Pertanyaan menarik adalah berapa persen investasi pemerintah melalui BUMN yang bergerak di sektor sawit. Jika melihat komposisi ini maka tidak mustahil dalam penentuan harga CPO di Internasional pemerintah tidak memiliki kekuatan penuh, selain hanya komoditi tersebut menjadi alat posisi tawar politik jika terjadi masalah.
Luasnya perkebunan sawit akan meningkatkan produksi CPO, dari meningkatnya produksi maka mendorong untuk mencari ekspor, dan seharusnya juga menciptakan produk lain di dalam negeri selain hanya produk pangan dan kebutuhan kecantikan, yang berkisar 20% dari sisa ekspor. Kisaran tahun 2006, pemerintah di rezim SBY mencari solusi penggunaan CPO untuk energi. Akhirnya ke Biofuel walau kemudian stagnan, sampai produksi B-5. Kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Presiden Joko Widodo, yang terus meningkatkan produksi Biofuel/biodiesel dari B5 sampai rencananya “Green” atau B100. Usaha yang keras dari pemerintah melalui Pertamina yang ditugaskan menghasilkan Biodiesel terus berkembang, yang kini telah menghasilkan B30-B40. Produksi CPO menjadi bahan bakar diesel dilakukan untuk memangkas pengunaan solar di dalam yang tinggi, artinya mengurangin impor solar. Data dari Badan Pusat Statistik impor solar Indonesia pada Oktober 2018 melonjak 244,6 ribu ton (78%) menjadi 558,2 ribu ton dari bulan sebelumnya dan juga naik 69% dibanding Oktober 2017. Impor solar mencatat posisi tertingginya sebesar 693 ribu ton pada Agustus, sebulan sebelum diperluasnya mandatori B20.
Sudah bersihkah Biodisel – Kini B30
Supaya pasokkan bahan baku biodiesel stabil, maka pemerintah memfasilitasi pembentukkan Asosiasi Produsen Biofuel (Aprobi) yang mayoritas anggotanya adalah 25 perusahan perkebunan sawit. Tentunya program ini baik adanya, apalagi saat ini Indonesia menjadi salah satu negara pengguna biofuel terbesar di dunia. Data yang diterbitkan Aprobi sejak Januari – Februari 2021 total produksi 1,395,942.06 Kiloliter dan yang telah didistribusikan 1,393,623 Kiloliter. Pada tahun 2019 dari penggunaan biodiesel mampu menghemat devisa hingga Rp 50 triliun, dan di klaim lebih ramah lingkungan karena gas buang yang kecil dengan emisi 45%.
Dalam produksi Biodisel pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa ketika harga CPO melambung tinggi, penguasa akan berfikir untuk mengutamakan ekspor. Dan tentunya jika dipaksakan untuk produksi lanjut ke B40 dengan harga CPO yang saat ini sedang naik maka bisa saja pemerintah akan mengeluarkan dana lebih besar lagi, seperti yang di utarakan oleh Dirjen EBTKE Kusdiana. Jika dipaksakan, pihaknya memperkirakan pemerintah harus persiapkan insentif yang lebih besar dengan nilai yang mencapai Rp 46 triliun dengan jumlah kuota 9,2 juta kiloliter (KL). Dari penjelasan tersebut ada 2 masalah, (1) mengindikasikan pemerintah tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga CPO yang harus dijual perusahaan yang telah di tunjuk oleh pemerintah sebagai pemasok bahan baku biodiesel kepada pemerintah melalui Pertamina. Strategi yang akan dipakai hanya mengutak atik pada pungutan ekspor, (2) Keuntungan besar akan terus didapat oleh perusahan pemasok bahan baku Biodisel, karena mengikuti harga CPO internasional, dan perusahan masih bisa mendapatkan keuntungan berikutnya adalah ekspor, pengurangan potongan dan atau tax.
Tidak bersih ke 2, hampir rata-rata pemasok Biofuel adalah perusaha yang terindikasi melakukan deforestasi di hampir semua konsesi mereka. Tidak hanya melakukan penggusuran hutan namun juga terindikasi melakukan pembakaran lahan, sejak 2015 s/d 2021. Pengusuran tanah hutan, melakukan pembakaran lahan dan mengkonversi gambut dengan pohon sawit. Di tambah lagi banyak perusahan yang berada dalam kawasan hutan, laporan BPK RI yang diolah oleh Auriga, sejak 1987 -2018 terdapat 518 perusahan yang mendapatkan pelepasan Kawasan Hutan seluas 5.418.412,99 hektar, walau sudah ada pelepasan Kawasan Hutan namun tidak menetapkan areal hutan yang dilindungi / NKT.
Tidak bersih ke 3, tanaman komoditi yang menjadi kebutuhan pasar internasional, biasanya akan membutuhan tanah yang luas, karena kebutuhan akan bahan baku sangat besar. Sama halnya dengan kebutuhan CPO yang tinggi untuk biodiesel. Tanah-tanah yang diberikan ijin oleh pemerintah kepada perusahan, hampir mayoritas tanah-tanah yang berada di kampung-kampung yang pasti ada penduduknya dan tanah telah diolah oleh masyarakat, baik itu masyarakat adat/lokal, petani dan juga sebagian nelayan tradisional. Baik sebagai pemukiman, lahan pertanian/berladang, keramba ikan dan produksi lainya. Konsersium Pembaharuan Agraria mencatat tahun 2020 terjadi 101 konflik agraria di perkebunan sawit. Lembaga Sawit Watch di tahun 2019 mencatat terjadi 1,052 konflik di sector perkebunan sawit. Konflik yang terjadi akan menimbulkan biaya besar bagi perusahan, dan dapat masuk dalam pelanggaran hak asasi manusia. Konflik-konflik yang terjadi melibatkan perusahan yang menjadi pemasok Bahan Baku Biodiesel. Penggusuran tanah adat, penggusuran lahan pertanian/perkebunan masyarakat, ganti rugi yang tidak sesuai dengan perjanjian dan masih banyak lagi.
Tidak bersih ke 4, perampasan bagi hasil plasma. Tidak hanya tanah yang di rampas, namun juga bagi hasil mitra plasma. Skema perkebunan sawit terbagi dalam Inti – plasma, dimana secara UU perusahan wajib membangunkan perkebunan sawit bagi masyarakat Min 20% dari ijin konsesi, yang mana masyarakat telah sepakat bermitra dengan perusahan, dengan proses serah lahan atau jual putus tanah kepada perusahan.
Fakta yang ada, bagi hasil yang diberikan dalam bentuk uang tidaklah seindah dengan yang di janjikan oleh perusahan sebagai mitra, sebagai contoh di Kalbar ada mitra plasma yang hanya terima Rp 1000, bahkan sejak 2006 perkebunan masuk belum terima bagi hasil yang real dari lahan mitra plasma, yang diterima justru dana hutang yang disebut perusahan dana talangan. Kasus perampasan hak petani mitra plasma ini berlaku umum di banyak perusahan perkebunan sawit baik yang bersertifkat ISPO anggota RSPO dan juga anggota Gapki. Perusahan yang melakukan hal ini tidak hanya PMDN namun juga perusahan PMA yang telah ada komitment berkelanjutan.
Tidak bersih ke 5. Buruh di perusahan perkebunan sawit di bagi 2, buruh yang didatangkan dan buruh yang berasal dari masyarakat adat/lokal. Buruh yang didatangkan dari luar daerah baik luar provinsi, di Kalimantan umumnya berasal dari Flores, Sumut, Lombok dan Jawa. Masyarakat adat/lokal yang menjadi buruh karena bagi hasil mitra plasma jauh dari standar. Di tambah lagi saat sosialisasi ada perusahan yang mengatakan jika masyarakat tidak meyerahkan lahan maka tidak bisa berkerja di perusahan. Kondisi buruh juga memprihatinkan, status buruh yang tak jelas bertahun-tahun kerja, status hanya buruh harian lepas, Kesehatan dan keselamatan kerja ( K3) tidak terpenuhi sehingga ada korban keracunan pupuk kimia cair yang berdampak pada kematian seperti kasus di Kabupaten Kubu Raya dan Sekadau di Kalbar. Infrastruk kerja yang tidak memadai, APD yang terbatas bahkan ada buruh yang membeli sendiri bahkan ada yang jadi ajang bisnis oknum-oknum manajemen kebun, dimana APD di jual ke buruh dengan menaikkan 10 % – 15% harga produk. Beban kerja yang cukup berat tidak seimbang dengan upah yang di terima, terdapat perusahan yang tidak medaftarkan buruh ke BPJS tenaga kerja, ada yang didaftarkan upah dipotong namun tidak disetorkan ke BPJS tenaga kerja. Ada perusahan yang melakukan union busting serikat buruh independent, intimidasi akan diterima pengurus serikat dengan berbagai bentuk, sampai terparah adalah PHK. UU-Cilaka sudah dipratekkan beberapa perusahan dengan mem-PHK buruh tanpa pesangon, upah UMSK tidak diberlakukan.
Dok slip Upah buruh Kebun Sawit di salah satu perusahan perkebunan di KKR
Tidak bersih ke 6, kehancuran keanekaragaman hayati. Dampak dari penggusuran ribuan hektar tanah hutan yang tentu akan hilangnya habitat satwa-satwa yang dilindungi atau endemic Borneo, seperti burung enggang, Orang Utan dll. Dampak juga dirasakan oleh masyarakat sekitar, masyarakat kesulitan mencari obat-obatan, berburu satwa untuk pemenuhan protein hewani semakin susah. Jika pun ada maka masuk dalam kawasan hutan yang pasti masyarakat akan ditangkap jika melakukan berburu satwa dalam kawasan hutan, seperti rusa, kera dan satwa yang tidak masuk kategori endemik 1.
Tidak bersih ke 7, kerusakan eksosistem air, Hutan dan keanekaragaman hayati terhubung dengan sungai-sungai yang di kampung-kampung. Dimana sungai selain berfungsi sebagai jalur transportasi namun juga sebagai tempat masyarakat untuk mendapatkan ikan, dimana ikan yang di dapat selain di jual, ikan hasil tangkapan untuk makan sendiri. Pencemaran terjadi ketika terjadi penggusuruan hutan dan penaburan pupuk kimia yang masuk ke sungai melalui kanal-kanal di kebun, yang mana kanal-kanal tersebut mengarah kesungai. Selain itu adalah pabrik pengelola TBS menjadi CPO, banyak kasus yang terjadi namun pemerintah seakan abai, dengan berlakukan UU cilaka/Omnibus law semakin membuat pemerintah daerah seakan-akan membiarkan dan tanpa tindakkan tegas terhadap perusahan.
Kesimpulan
Biodisel adalah program yang baik dilakukan oleh pemerintah dengan alasan-alasan fiscal yang menjadi rujukkan utamanya. Namun tentunya hal yang baik ini harus didukung dengan fasilitas regulasi dan kebijakan yang baik pula, bukan dibiarkan begitu saja, sehingga terbangun citra jelek atas produksi biodiesel ini, dan itu terbukti di mana pemerintah sibuk menangkis bad campaign dari eropa tanpa upaya yang sungguh-sungguh dengan kekuatan politik dan hukum untuk menekan perusahan-perusahan perkebunan sawit yang tidak bersih dari pelanggaran.
Masih banyak perusahan-perusahan perkebunan sawit yang menjadi pemasok bahan baku biodiesel yang belum bersih dari pelanggaran baik sosial dan lingkungan. Begitu juga perusahan-perusahan yang menjadi suplayer pemasok bahan Baku Biodiesel. Tuntutan masyarakat untuk di lakukan perbaikkan biasanya akan berujung pada kriminalisasi terhadap masyarakat adat, buruh bahkan para aktivis Ham dan lingkungan.
Perusahan-perusahan pemasok Bahan Baku Biodisel tidak menjalankan kebijakan berkelanjutan dengan serius dan konsisten, selain hanya menjadikan kebijakan dan komitment hanya untuk di jadikan pencitraan pasar. Kebijakan-kebijakan internasional pun tidak begitu kuat menekan perusahan-perusahan untuk menjalankan komitment secara benar dan sesuai dengan standar.
Pemerintah sampai saat ini belum memiliki standar baku, bagi pemasok bahan baku Biodisel, bersih dari perusakkan lingkungan, deforestasi, konversi gambut, pembakaran lahan dan tidak melanggar hak-hak asasi masyarakat adat/lokal, buruh dan petani yang mana standar tersebut wajib dijalankan oleh perusahan dan harus dilakukan penilaian yang objektif, bukan hanya administrasi belaka.
Dari beberapa kasus dan masalah yang ada dapat di katakan bahwa perusahan-perusahan dapat dikatakan melanggar hak asasi manusia dan tidak memenuhi program pemerintah dalam pembangunan berkelanjutan. Dengan kata lain bahwa pelanggaran sebenarnya diketahui oleh pemerintah namun kurang berani untuk melakukan tindakkan karena kepungan oligarki.
UU Omnibus law mesti dicabut, belum sampai setahun usia UU cilaka/omnibuslaw telah mendatangkan korban masyarakat dan lingkungan. Pemerintah mesti berfikir masa depan yang lebih panjang 30 s/d 100 tahun kedepan bukan berfikir hanya 5 tahun – 10 tahun, dalam rancang bangun dan peta jalan BBN biodiesel.
Rekomendasi
Tidak akan bosan-bosannya dan behenti, untuk pemerintah melakukan evaluasi semua perusahan ekstratif sumber daya alam, dalam hal ini perusahan perkebunan sawit yang menjadi pemasok Bahan Baku Biodisel baik langsung dan tidak langsung. Evaluasi dilakukan secara terbuka, transparan dan jujur serta disertai dengan ketegasan untuk melakukan perbaikkan tata kelola hulu sampai hilir.
Pemerintah mesti memiliki standar yang dijadikan syarat kepada perusahan pemasok bahan baku biodiesel, tidak ada lagi penggusur Tanah Hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi dan juga yang dijaga dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat/lokal dan petani, tidak boleh lagi ada konversi di lahan gambut termasuk tanaman ulang, tidak ada membuka lahan dengan bakar dan kejadian kebakaran di areal konsesi dan sekitar konsesi, tidak boleh ada lagi pemiskinan oleh perusahan terhadap petani mitra plasma, pemenuhan hak-hak buruh, kembalikan tanah-tanah masyarakat adat dan tidak boleh lagi terjadi pelanggaran HAM. Ini beberapa hal, pemerintah bisa membuat yang disesuaikan dengan UU dan kebijakan internasional yang telah diratifikasi atau bersetuju.
Pemerintah mesti melakukan audit lingkungan dan audit sosial di seluruh konsesi perkebunan sawit yang ada Indonesia, dan ini dilakukan secara terbuka, jujur, transparan dan melibatkan stakeholder yang kredibel, memiliki integritas yang tinggi. Dan harus cepat dilakukan karena akibat dari kebijakan eksploitasi SDA yang meyebabkan Konflik masyarakat vs perusahan, ini harus segera di selesaikan dengan bijak, yaitu mengembalikan tanah-tanah masyarakat ke masyarakat. begitu juga terhadap masalah lingkungan dan Buruh. Selesaikan semua Konflik lahan, buruh dan Lingkungan.
Pemerintah mesti tegas terhadap perusahan pemasok bahan baku biodiesel yang melanggar atau tidak clean and clear, jangan ambigu atau terkesan takut pada perusahan. Pemerintah bisa optimalkan BUMN dan perkebunan rakyat, namun tetap mengaju kepada standar berkelanjutan.
Penutup
Banyak standar yang telah menjadi komitmen perusahan perkebunan sawit, misal NDPE, nah tinggal pemerintah saja lagi mau tegas atau tidak, mau berkelanjutan atau hanya 5 tahun – 10 tahun. Pemerintah mesti belajar dari pengalaman yang dialami, paling sederhana saja konsesi terbesar, produksi CPO terbesar, ekspor terbesar namun penentuan harga bukan dari Indonesia. Ini hal kecil yang sudah dihadapi dan dirasakan. Pelajaran ke 2, begitu akan diboikot produk CPO tidak masuk pasar eropa, pemerintah panik namun tidak menunjukan kepada dunia perbaikan demi perbaikkan yang ada di sektor perkebunan sawit. Sejujurnya pelanggaran HAM sudah terjadi jika merujuk pada UUHAM 39 th 1999, karena dianggap bukan pelanggaran HAM berat maka diabaikan/didiamkan sampai ada korban.
5 MEI 2021
BUNG TOMO
No Comments