Banjir Besar di Mempawah: Akumulasi Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan

Banjir Besar di Mempawah: Akumulasi Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan

Bencana banjir besar yang melanda Kabupaten Mempawah pada awal tahun ini menjadi peristiwa yang mengejutkan banyak pihak. Beberapa daerah yang sebelumnya tidak pernah terdampak kini terendam hingga sepinggang. Fenomena ini bukan sekadar akibat curah hujan tinggi, melainkan dampak dari akumulasi deforestasi dan alih fungsi lahan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di Kalimantan Barat.
Selama dua dekade terakhir, Kalimantan Barat telah kehilangan jutaan hektar hutan primer. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), pada tahun 2000 hingga 2020, Kalimantan Barat kehilangan lebih dari 1,2 juta hektar tutupan hutan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur.
Hasil investigasi Mongabay Indonesia juga mencatat bahwa pembukaan lahan secara masif di daerah hulu seperti Kabupaten Landak dan Sanggau telah memperburuk kondisi hidrologis di wilayah hilir, termasuk Mempawah. Hutan yang berfungsi sebagai penyerap air hujan telah berubah menjadi lahan perkebunan monokultur atau kawasan industri yang tidak mampu menahan limpasan air secara alami.
Selain itu, sedimentasi sungai akibat erosi dari daerah hulu memperparah keadaan. Sungai-sungai di Kalimantan Barat, termasuk yang bermuara ke Mempawah, mengalami pendangkalan sehingga kapasitas aliran air berkurang drastis. Menurut laporan dari Balai Wilayah Sungai Kalimantan I, sedimentasi Sungai Mempawah meningkat hingga 40% dalam dua dekade terakhir, menyebabkan air lebih cepat meluap dan membanjiri wilayah pemukiman.
Kabupaten Mempawah yang berada di wilayah hilir sangat bergantung pada kondisi lingkungan di daerah hulu. Hilangnya tutupan hutan dan perubahan tata guna lahan menyebabkan air hujan tidak dapat diserap dengan baik di daerah hulu. Akibatnya, volume air yang mengalir ke hilir meningkat drastis, memperparah risiko banjir.
Menurut laporan WALHI Kalimantan Barat, sekitar 60% daerah tangkapan air di hulu Sungai Mempawah telah berubah menjadi perkebunan monokultur, terutama kelapa sawit. Ini menyebabkan meningkatnya limpasan air permukaan yang tidak terkontrol dan menambah risiko banjir.
Selain itu, banyak daerah resapan air telah beralih fungsi menjadi pemukiman dan kawasan industri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat, luas lahan non-hutan di Mempawah meningkat hingga 35% dalam sepuluh tahun terakhir, mengurangi kemampuan daerah ini dalam menyerap air hujan secara alami.
Selain deforestasi dan alih fungsi lahan, faktor perubahan iklim juga memperburuk situasi. Fenomena La NiƱa yang terjadi tahun ini menyebabkan curah hujan lebih tinggi dari biasanya. Data BMKG Stasiun Supadio menunjukkan bahwa intensitas curah hujan di Kalimantan Barat dalam tiga bulan terakhir meningkat hingga 200 mm lebih tinggi dari rata-rata tahunan.
Sayangnya, sistem drainase yang kurang memadai di wilayah Mempawah tidak mampu mengalirkan air dengan cepat, menyebabkan genangan yang berkepanjangan. Data Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Mempawah menyebutkan bahwa lebih dari 70% saluran drainase di kawasan perkotaan tidak berfungsi optimal akibat sedimentasi dan penyumbatan sampah.
Banjir besar di Mempawah adalah alarm bagi semua pihak bahwa tata kelola lingkungan harus segera diperbaiki. Penegakan aturan terkait deforestasi dan alih fungsi lahan perlu diperketat. Selain itu, rehabilitasi daerah aliran sungai dan peningkatan infrastruktur drainase harus menjadi prioritas utama untuk mengurangi risiko bencana di masa depan.
Jika tidak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan lingkungan, bukan tidak mungkin bencana seperti ini akan terulang dengan skala yang lebih besar. Saatnya pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta bekerja sama untuk menjaga keseimbangan alam demi mencegah bencana serupa terjadi lagi.
-Teraju Indonesia-
No Comments

Post A Comment