Indikasi Kerja Paksa di Tengah Laju Ekspor dan Keuntungan Berlimpah di Perkebunan Sawit Berkelanjutan

Indikasi Kerja Paksa di Tengah Laju Ekspor dan Keuntungan Berlimpah di Perkebunan Sawit Berkelanjutan

(English version here!)
Indonesia merupakan negara terbesar dan terluas perkebunan sawitnya di dunia yaitu dengan luas 18 juta hektar. Catatan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) produksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) tahun 2023 mencapai 50,07 juta ton, naik sebesar 7,15% dari tahun 2022 yang sebesar 46,73 juta ton. Pada tahun yang sama juga terjadi penurun ekspor ke Eropa sebesar 11,6 %, sementara 4 negara ekspor lainya mengalami kenaikan termasuk ekspor ke negara Amerika Serikat dengan kenaikan 10%.
Tabel 1.  Ekspor  Tahun 2023
Negara
Total Ekspor 2023
Nilai Ekspor (%) Daripada Tahun 2022
Eropa
32,21 juta ton
-11,6 %
Afrika
4,232 ribu ton
+33 %
Cina
7.736 ribu ton
+23 %
India
5.966 ribu ton
+8 %
Amerika
2.512 ribu ton
+10 %
Sumber : Gapki. (2024). Kinerja Industri Minyak Sawit Tahun 2023 dan Prospek Tahun 2024. Diambil dari https://gapki.id/news/2024/02/27/kinerja-industri-minyak-sawit-tahun-2023-prospek-tahun-2024/
Badan Pusat Statistik mencatat 5 negara tujuan eskpor CPO  terbesar adalah India, Kenya, Malaysia, Italia dan Belanda. Total ekspor ke 5 negara tersebut 97,64 % dari total ekspor CPO Indonesia.

Besarnya ekspor CPO tahun 2023 tentunya menjadi kabar gembira bagi para investor perkebunan sawit dalam dan luar negeri, walaupun perkiraan pada tahun 2024 akan terjadi penurunan sekitar 4%. Tingginya ekspor memberikan peningkatan pendapatan perusahaan perkebunan dan perusahaan pengolahan sawit. Masih pertanyaan yang sama, apakah peningkatan ekspor dan pendapatan perusahaan berbanding lurus dengan pemenuhan hak-hak buruh dan kesejahteraan buruh perkebunan sawit?

Kewajiban Yang Terlupakan Hak Buruh Pun Terabaikan

Besarnya ekspor dan pendapatan perusahaan dan pemerintah dari pajak ekspor tentunya patut untuk diapresiasi. Namun euforia besarnya pendapatan tersebut bukan berarti lepas dari masalah. Bukan rahasia umum masalah seperti rendahnya bagi hasil plasma perusahaan yang diperoleh mitra plasma perusahaan di Kalimatan Barat, deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit baik lahan masyarakat adat/lokal danatau lahan transmigrasi. Mirisnya juga  adalah belum terpenuhinya hak-hak buruh/pekerja perkebunan sawit, dan masih jauh dari kata menuju sejahtera.
Permasalahan di atas seyogyanya menjadi perhatian pemerintah dan pemilik perusahaan, karena telah termaktub dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yang disebutkan perusahaan atau penanam modal bertanggung  jawab dan berkewajiban melestarikan lingkungan, menciptakan keselamatan, kesehatan kerja, kenyaman dan kesejahteran bagi buruh/pekerja, mematuhi semua hukum dan peraturan, menghormati kebudayaan dan tradisi masyarakat di sekitar penanaman modal. Kewajiban perusahaan/pemodal dalam UU 25 Tahun 2007, menciptakan keselamatan, kesehatan dan kesejateraan bagi pekerja selaras dengan standar International Labour Organization (ILO).

Tabel II.  Standar International Labour Organization (ILO)

Fasilitas Kesejahteraan
Pemberi kerja harus memberikan fasiltas kesejateraan yang memadai seperti, ruang istirahat, makan, air minum, sanitasi, pertolongan pertama  dan ruang ganti
Kesejahteraan tenaga kerja
Mengakui kesejahteraan tenaga kerja sebagai penyediaan berbagai layanan dan fasilitas seperti fasilitas rekreaksi, pengaturan transportasi dari rumah ke tempat kerja, dan akomodasi pekerja yang berkerja jauh dari lokasi kerjanya.
Kesetaraan kesempatan & perlakuan
Menjamin kesetaran kesempatan & perlakukan dalam mengakses pelatihan, promosi jabatan, keorganisasian dan pengambilan keputusan.
Larangan kerja paksa
Melarang bentuk kerja paksa dan kerja wajib
Penghasilan yang sama
Menetapkan penghasilan yang sama bagi laki-laki dan perempuan pada pekerjaan yang bernilai sama.
Usia minimum bekerja
Menetapkan usia minum untuk bekerja yang tidak kurang dari usia untuk menyelesaikan pendidikan wajib.
Perlindungan pekerja perempuan
Melindungi buruh perempuan terkait dengan syarat-syarat kondisi kerja, kesehatan dan keselamatan kerja dan kehamilan.
Namun sayangnya masih terdapat beberapa perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Barat yang belum menjalankan kewajibannya secara optimal, bahkan terdapat indikasi beberapa perusahaan melakukan kerja paksa. ILO telah menyusun 11 indikator kerja paksa, penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan gerak, isolasi, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penahanan dokumen identitas, pemotongan upah, jeratan utang, kondisi kerja dan tempat tinggal yang tidak layak. Untuk buruh lokal atau yang berasal dari masyarakat sekitar konsesi kebun biasa mengalami penipuan, intimidasi dan ancaman dan pemotongan upah. Diskusi yang dilakukan oleh tim Teraju Indonesia di beberapa perusahaan perkebunan sawit, dimana 11 indikator kerja paksa dialami oleh buruh yang didatangkan dari luar kabupaten atau provinsi seperti mengalami penipuan, pembatasan gerak, intimidasi dan ancaman, penahanan dokumen identitas, pemotongan upah, jeratan hutang, kondisi kerja dan tempat tinggal yang tidak layak.
Dari wawancara dan penilaian di 5 perusahaan perkebunan sawit, kami mencoba untuk membagi beberapa temuan yang belum terpenuhinya hak-hak buruh/pekerja di perusahaan perkebunan sawit. 5 perusahan merupakan anggota RSPO, pemasok anggota RSPO dan memiliki sertifikasi ISPO.

Tabel III. Data Temuan Masalah   

Temuan
Keterangan
Upah
1.  Tidak ada skema upah yang jelas, terdapat upah dibawa UMP/UMK.
2. Pemotongan upah
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
1. Belum tersedia rumah mandi/ bilas.
2. Pemeriksaan kesehatan berkala bagi buruh jarang dilakukan bahkan ada yang tidak melakukan.
3.  Masih ada perusahaan yang tidak memberikan alat pelindung diri (APD) dan tidak diberikan lengkap.
4. Tidak ada perlengkapan P3K yang tersedia di setiap blok kebun.
5. Minim fasilitas kesehatan.
6. Tidak ada pemeriksaan dan atau cek terhadap buruh yang habis melahirkan, terutama mereka yang kerja di bagian pemupukan.
7. Tidak ada fasilitas kamar/ruangan laktasi untuk buruh di lapangan, dan tidak diberikan waktu/jam khusus bagi buruh perempuan untuk menyusui.
Status Buruh/Pekerja
1. Terdapat buruh berstatus harian lepas yang tidak ada kontrak kerja, dengan beban kerja yang cukup tinggi. Buruh harian lepas mayoritas adalah buruh/pekerja perempuan dan sudah bekerja di atas 3 tahun.
2. Status Buruh Harian Lepas didapatkan oleh buruh yang di datangkan dari luar provinsi, tidak ada kontrak, dokumen identitas pun ditahan.
3. Tidak mendapatkan jaminan kesehatan seperti BPJS dan pelayanan kesehatan lainnya.
Alat Kerja
1. Alat kerja diberikan, jika rusak tidak diganti. Ini membuat buruh terkadang membeli peralatan kerjanya sendiri.
Fasiltas tempat tinggal
1. Masih ada tempat tinggal buruh yang tidak layak, sanitasi buruk, tidak disediakan air bersih, dan polusi udara dan air.
2.Tidak ada fasilitas penitipan anak balita
Beban Kerja
1. Buruh pemupuk yang didominasi oleh perempuan harus bekerja berat dengan kontur kebun dan fasilitas terbatas. Menabur pupuk minimal 350 kilogram, bahkan bisa 1 ton, jika akan mengejar produksi. Dengan perhitungan upah 1 hari kerja.
Fasilitas Angkutan Buruh
1. Tidak terdapat fasilitas angkutan buruh, jika disediakan menggunakan jonder dan truk angkutan TBS, yang tidak aman.
2. Tidak ada biaya pengganti BBM untuk buruh/pekerja oleh perusahaan.
Izin cuti
1. Beberapa buruh perempuan terpaksa tidak ambil cuti, libur sendiri karena saat haid sakit. Namun diminta perusahaan untuk ke klinik untuk diperiksa. Sehingga dianggap mangkir jika tidak ke klinik atau memberi tahu.
2. Cuti melahirkan. Beberapa buruh perempuan jika cuti, saat masuk kerja kembali mereka dianggap buruh/pekerja baru karena statusnya BHL, hal yang sama juga dirasakan oleh buruh perempuan sebagai Buruh Tetap, di beberapa perusahaan perkebunan sawit.
3. Tidak ada cuti khusus. Bagi Buruh Tetap cuti 12 hari untuk satu tahun dipergunakan jika terjadi emergency/mendesak.
Larangan Berserikat
1. Lambatnya proses pencatatan yang dikeluarkan oleh dinas, bahkan ada dokumen yang diserahkan hilang sampai 2x dan pencatatan telah keluar namun tidak disampaikan kepada serikat.
2. Ada permintaan kepada pengurus adat untuk menyampaikan kepada pengurus serikat membubarkan serikat buruhnya.
3. Buruh/pekerja diancam dipecat jika bergabung serikat, bahkan di takut-takuti tidak diangkat menjadi buruh tetap dll.
4. Mutasi kepada pengurus serikat tanpa alasan dan dasar yang jelas. Jika tidak mau mutasi, di PHK secara tidak hormat (mangkir atau melawan perintah) atau mengundurkan diri.
Note:  Nama perusahaan sengaja tidak dicantumkan
Jika merujuk pada UU dan peraturan terkait larangan kerja paksa tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 1999 adalah undang-undang yang mengesahkan Konvensi ILO Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa. Kemudian larangan kerja paksa juga tertuang dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, larangan kerja paksa juga di atur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Undang–Undang Kebebasan Berserikat Nomor 21 Tahun 2000, UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007, dan UU dan peraturan lainnya yang terkait dengan perkebunan sawit dan ketenagakerjaan. Dari tabel diatas dapat diduga beberapa perusahaan perkebunan sawit telah melakukan pelanggaran UU dan hukum  perdata dan pidana, termasuk juga melakukan kerja paksa. Dan sangat ironisnya di zaman modern ini kerja paksa masih terjadi di sektor perkebunan sawit, yang mana pemerintah telah menyusun dan menerapkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Jelas sudah ada Undang-Undangnya, peraturannya dan kebijakan yang dibuat oleh perusahaan perkebunan sawit dalam setiap dokumen berkelanjutan yang mereka keluarkan. Namun sayangnya praktek-pratek yang diduga kerja paksa masih saja berlangsung. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Buruh tidak menjadi perhatian serius oleh perusahaan.
Lucunya lagi adalah manajemen perusahaan mengatakan kepada buruh/pekerja ketika ditanya kenapa buruh tidak diberikan Alat Pelindung Diri (APD) dengan ringannya manajemen menjawab belum ada audit ISPO dan pembeli (Buyer), serta sertifikasi ISPO kita belum keluar sehingga tidak mendesak untuk diberikan APD. Diskriminasi fasilitas perumahan antara Buruh bagian lapangan dengan buruh  level asisten, mandor pun terjadi. Asisten ke atas dari fisik bangunan rumah sampai pada fasilitas air bersih tersedia, apa lagi terkait fasilitas lainya, Seperti cuti, upah dan fasilitas alat kerja pun akan berbeda perlakukannya. Nah yang lebih parah adalah ketika buruh/ pekerja masih berstatus Buruh Harian Lepas (BHL) apalagi buruh Borongan, tidak akan mendapatkan fasilitas apapun termasuk APD dan jaminan kesehatan, ketika terjadi kecelakaan kerja maka menjadi tanggung jawab si buruh/ pekerja. Fasilitas kendaraan kerja, buruh/pekerja menggunakan peralatan mereka sendiri dan saat terjadi kerusakan maka menjadi tanggung jawab buruh/pekerja.
Dok.Teraju Indonesia 2024:  Buruh Borongan yang berkerja Tanpa diberikan APD (perusahaan adalah pemasok anggota RSPO, sertifikasi ISPO).
Pengakuan Buruh/Pekerja
Seorang buruh perempuan yang bekerja sebagai Kenek dari Suami, salah satu perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Sanggau, pemasok RSPO
Saya sudah lama berkerja bantu Ayah (panggilan untuk suami) sejak tahun 2018 (6 tahun), kadang pungut brondol, kadang susun pelepah, kadang angkut buah sawit (TBS) ke arco. Selama saya kerja, saya tidak diupah/diberi gaji oleh perusahaan. Jadi saya diupah dengan suami saya (si ibu sambil tersenyum). Ayah  saya kerjanya banyak, selain panen, juga susun pelepah, pruning juga, bersihkan ancak (kebun). Ayah jelaskan ukuran ancak  kerje bise 7 sampai 8 ancak, satu ancak biasenye 1 hektar sampai 2 hektar, tak menentu. Upah ayah pada tonase panen buah sawit, nah brondolan (buah sawit yang jatuh) disatukan dengan TBS yang dipanen same ayah. Bersihkan piringan pohon sawit 1 bulan sekali belum tentu ada, karena tergantung penilaian pengawas kebun kapan akan dibersihkan. Kami mulai kerja jam 7 dan berakhir jika target panen telah tercapai, jika tak tercapai yang cari pohon sawit yang ada buah masak, nah ada musimnya jika saat buah musim “track” maka tidak akan sampai target, sehingga upah terkadang di proporsi. Nah terkadang tak masuk hitung HK. Jika lewat dari 7 jam kerje tak terhitung lembur. Bonus yang dapat tuh pengawas atau mandor, karena dianggap mereka sampai target produksi atau lebih target produksi dari hasil pemanen, kami pemanen hanye dapat letihnya saja.
Cerita lepas dari buruh harian lepas
Kami buruh lepas, upahnya model Borongan, kami tidak diberi helm, kaca mata dan sarung tangan. Alat kerja pun punya sendiri jadi kalau rusak tanggung jawab sendiri. Kami tidak ada BPJS Kesehatan, kalau sakit berobat sendiri ya biaya sendiri. Kerjanya pruning potong pelepah-pelepah habis dipotong disusun pelepah. Dalam 1 hari kerja bisalah 1 hektar bahkan lebih. Syukurnya selama kerja belum pernah mengalami musibah, seperti kelilipan serbuk sawit atau ketimpa pelepah. Semoga tidak terjadilah, karena kan biaya perobatan kami tanggung sendiri jika terjadi kecelakaan kerja. Saya tak tahu cara melamar pekerjaan diperusahaan, tapi saya sudah cukup lama kerja di perusahaan ini bagian pruning pelepah pohon sawit nih.

Upaya yang Dilakukan Untuk Pemenuhan Hak-Hak Buruh/Pekerja

Upaya perbaikan kondisi buruh dan pemenuhan hak-hak buruh belum sepenuhnya diikuti oleh 5 perusahaan sebagai sampel (bukan anggota RSPO)  yang dinilai. Perusahaan-perusahaan yang dinilai merupakan pemasok dari perusahaan anggota RSPO. Patut juga menjadi perhatian diantara 5 perusahaan tersebut diduga telah mendapatkan Sertifikasi ISPO. Kerja keras yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan dan menegakkan Undang-Undang dan peraturan dan cita-cita mewujudkan perkebunan sawit berkelanjutan serta pemenuhan capaian SDGs seharusnya menjadi perhatian yang serius dan benar-benar dipratekkan. Sehingga eksploitasi buruh/pekerja yang menjurus pada kerja paksa tidak terjadi.
Advokasi penyadaran terhadap perusahaan-perusahaan yang belum memenuhi hak-hak buruh harus di lakukan terus menerus. Data awal temuan lapangan kita sampaikan kepada pemerintah dalam hal ini Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi dan kepada Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Kalimantan Barat  secara langsung dengan melakukan pertemuan dengan Pengurus GAPKI. GAPKI menyampaikan kepada anggotanya untuk melakukan perbaikan dan pemenuhan hak-hak buruh, sehingga perkebunan sawit berkelanjutan dapat terpenuhi. Advokasi yang dilakukan ke perusahaan-perusahaan non-RSPO dan anggota RSPO paling tidak terdapat beberapa perusahaan yang telah berusaha secara bertahap melakukan perbaikan atas kondisi buruh dan pemenuhan hak-hak buruh/pekerja. Kami coba mengurutkan 3 perusahaan anggota RSPO yang bertahap melakukan perbaikan untuk memenuhi hak-hak buruh.

Tabel IV. Perbaikan Kondisi Buruh Anggota RSPO

PT. BPK – Wilmar
PT. AAN – DSNg
PT. BKP – FR
1. Pemeriksaan kesehatan telah dilakukan secara berkala
2. Perumahan pekerja sudah permanen dengan fasilitas yang cukup baik
3. BHL sebagian besar telah di angkat menjadi Buruh Tetap
4. Pemberian APD lengkap
5. Pemberian Alat kerja
6. Penyedian air bersih bertahap diberikan kepada Buruh.
7. Dialog sosial buruh dan manajemen berjalan cukup baik melalui LKS-Bipatrit
1. Pemeriksaan Kesehatan sudah dilakukan secara berkala
2. Ada perbaikkan dalam skema pengupahan
3. Sosialisasi P3K
4. Pemberian APD
5. Pemberian Alat kerja
6. Mulai di lakukan Pembangunan rumah bilas/ mandi untuk Buruh/ Pekerja
7. Dialog sosial setahap demi setahap berjalan dengan baik , menghasilkan Solusi perbaikkan.
1. Pemeriksaan Kesehatan bagi buruh/pekerja mulai dilakukan
2. Pemberian APD dan Alat kerja
3. Pemberian APD
4. Pemberian alat kerja
5. Dialog sosial serikat buruh dan Manajemen sudah terjadi. Bentuk pengakuan Serikat Buruh.
Perbaikan yang dilakukan perusahaan tidak terlepas dari peran serikat buruh/pekerja dalam melakukan dialog sosial dan aksi-aksi produktif. Kemudian terbukanya pikiran manajemen perusahan pentingnya pemenuhan hak-hak buruh/pekerja sebagai bagian dari usaha bersama menuju perkebunan sawit berkelanjutan dan menjalankan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku. Contoh kongkrit 3 perusahaan anggota RSPO ini menunjukkan komitment perusahan terhadap kebijakan RSPO dan kebijakkan pasar internasional, walau belum 100%  dipenuhinya pemenuhan hak-hak buruh. Untuk perusahan non-RSPO masih banyak yang tidak peduli untuk melakukan perbaikan kondisi buruh dan pemenuhan hak-hak buruh perkebunan, pun masih terdapat anggota RSPO yang belum menjalankan kebijakan dan komitmen berkelanjutan dan kebijakan HAM dan Bisnis.

Dok. Teraju Indonesia 2024: Kondisi jalan kebun perusahan anggota RSPO yang rawan kecelakaan kerja
Hal ini dikarenakan lemahnya monitoring, evaluasi, dan audit. Adapun hanya sebatas untuk memenuhi sertifikasi dan pengakuan pembeli (buyer).  Kemudian Pengawasan dan sanksi yang lemah diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan yang tidak memenuhi hak-hak buruh/pekerja. Yang mengkhawatirkan adalah pihak perbankan terkesan tidak peduli atas kondisi buruh/pekerja di perusahaan perkebunan sawit. Yang mana semua telah diatur dalam Undang-Undang dan peraturan dan menjadi keharusan perusahaan untuk mematuhinya dan menjadi kewajiban pemerintah melakukan pengawasan, pembinaan dan pemberian sanksi kepada perusahan yang melanggar Undang-Undang dan peraturan.
Mewujudkan perkebunan sawit berkelanjutan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 105 menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 yang melahirkan UU HAM 39 Tahun 1999, UU 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh/Pekerja, UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan lainnya yang terkait ketenagakerjaan. Pemerintah Indonesia pun berkomitment penuh dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan capain SDGs. Tidak hanya pemerintah perusahaan perkebunan sawit pun berkomitment untuk mencapai SDGs dan menerapkan dan atau mempraktekkan HAM dan Bisnis dalam usahanya. Komitmen tersebut bukan hanya pencitraan belaka namun yang terpenting adalah penerapannya.
Perlu dilakukan kerja-kerja kolaboratif antar pemerintah, CSO/OMS, buruh/pekerja baik lokal, regional, nasional dan internasional yang melibatkan pihak perusahaan, buyer dan juga perbankan serta yang utama adalah melibatkan serikat buruh, federasi dan konfederasi. Kerja-kerja kolaboratif penting dilakukan sehingga koordinasi, konsolidasi dan verifikasi atas temuan dan perbaikan dapat dilakukan secara bersama-sama. Hal ini juga untuk mengurangi terjadinya konflik dilapangan. Kerja-kerja kolaboratif dapat menjadi ajang peningkatan kapasitas setiap organisasi.
Selain itu, pemerintah pusat dan daerah dapat merumuskan dan menerbitkan regulasi bersifat sektoral tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh perkebunan sawit berkelanjutan. Dengan adanya regulasi baik itu dalam bentuk Undang-Undang, peraturan daerah dan turunannya. Undang-Undang sektoral perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh sangat mendesak untuk dibuat dan disahkan oleh pemerintah. Karena Undang-Undang tersebut menunjukan keseriusan pemerintah ke Internasional untuk mewujudkan perkebunan sawit berkelanjutan dan memenuhi capain SDGs.

Kesimpulan

Tingginya ekspor dan tingginya pendapatan perusahaan dan pajak eskpor yang didapat pemerintah, tidak berkorelasi dengan perbaikan kondisi dan pemenuhan hak-hak buruh/pekerja perkebunan sawit. Skema upah yang tidak jelas, pengunaan bahan kimia yang tidak dikontrol dan diawasi dengan benar, pemeriksaan kesehatan pekerja, upah yang dipotong, status kerja yang tidak jelas, kesehatan dan keselamatan kerja tidak terpenuhi dan lainya.
Eksploitasi terhadap buruh perkebunan sawit terus terjadi yang mengarah pada kerja paksa, yang disayangkan tidak adanya pengawasan yang kuat kepada perusahaan dari pemerintah pusat sampai dengan kabupaten. Sehingga terkesan terjadi pengabaian atas masalah-masalah buruh/pekerja perusahaan perkebunan sawit.
Masih sedikit sekali perusahaan yang menjalankan Konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Perusahan Anggota RSPO telah mencoba berupaya untuk melakukan perbaikan dan pemenuhan hak-hak buruh walau harus diberi tekanan. Sementara perusahaan non-RSPO baik perusahaan dalam negeri dan luar negeri masih enggan untuk melakukan perbaikan. Perbaikan akan dilakukan jika ada audit untuk sertifikasi ISPO dan audit dilakukan oleh Buyer. Namun juga tidak sedikit perusahan anggota RSPO yang abai dalam pemenuhan hak-hak buruhnya.
Lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar Undang-Undang dan peraturan menyebabkan eksploitasi terhadap buruh/pekerja terus berlangsung. Selain itu, hukum yang ada lebih berpihak pada perusahaan perkebunan sawit dari pada buruh/pekerjanya.
-Sekian-
No Comments

Post A Comment