06 Jun Isu “Keadilan Air”, Contoh Kasus Pada Sumber Daya Air Masyarakat Adat Kecamatan Toba
Keadilan air mengacu pada distribusi, pengelolaan dan akses yang adil dan merata ke sumber daya air untuk semua orang, terlepas dari keadaan sosial, ekonomi atau geografis mereka. Ini mencakup berbagai isu yang berkaitan dengan air, termasuk ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, dan tata kelola. Berikut adalah beberapa isu keadilan air yang ada:
Kurangnya Akses: Banyak masyarakat di seluruh dunia, terutama di negara berkembang, kekurangan akses ke air bersih dan aman untuk keperluan minum, memasak dan sanitasi. Kurangnya akses ini secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok-kelompok yang terpinggirkan, termasuk penduduk pedesaan, masyarakat adat, dan penghuni daerah kumuh.
Privatisasi Air: Dalam beberapa kasus, sumber daya dan layanan air telah diprivatisasi, menimbulkan kekhawatiran tentang keterjangkauan, kualitas, dan akuntabilitas. Privatisasi dapat mengakibatkan kenaikan harga air, berkurangnya akses bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dan penyediaan layanan yang tidak memadai.
Kelangkaan Air: Kelangkaan air merupakan tantangan yang signifikan di berbagai daerah, khususnya daerah kering dan rawan kekeringan. Distribusi sumber daya air yang tidak merata memperburuk masalah, karena sering menimbulkan persaingan dan konflik atas akses, yang mempengaruhi populasi yang paling rentan.
Polusi dan Kontaminasi: Pencemaran air, yang disebabkan oleh kegiatan industri, limpasan pertanian, pengolahan air limbah yang tidak memadai, dan faktor lainnya, merupakan ancaman bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Sumber air yang tercemar secara tidak proporsional berdampak pada komunitas yang terpinggirkan yang kekurangan sumber daya untuk mengurangi dampaknya.
Dampak Perubahan Iklim: Perubahan iklim mengubah pola curah hujan, menyebabkan kekeringan dan banjir yang lebih sering dan intens. Perubahan ini mempengaruhi ketersediaan dan kualitas air, yang semakin memperburuk kesenjangan air yang ada dan menempatkan masyarakat yang rentan pada risiko yang lebih besar.
Sanitasi yang Tidak Memadai: Akses ke fasilitas sanitasi yang layak, termasuk toilet dan pengolahan air limbah, sangat penting untuk kesehatan dan martabat masyarakat. Namun, banyak masyarakat tidak memiliki infrastruktur sanitasi yang memadai, yang menyebabkan peningkatan risiko kesehatan, khususnya bagi perempuan dan anak perempuan yang mungkin menghadapi masalah keamanan saat mengakses fasilitas sanitasi.
Tata Kelola Air yang Tidak Setara: Kerangka kerja tata kelola air dan proses pengambilan keputusan seringkali mengesampingkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, yang menyebabkan distribusi manfaat dan beban yang tidak merata. Hal ini dapat melanggengkan ketidaksetaraan sosial dan menghambat partisipasi yang berarti dari masyarakat yang terkena dampak dalam pengambilan keputusan terkait air.
Mengatasi keadilan air membutuhkan pendekatan komprehensif yang memprioritaskan kesetaraan sosial, keberlanjutan, dan partisipasi masyarakat. Ini melibatkan memastikan akses universal ke air dan sanitasi yang aman dan terjangkau, mempromosikan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, dan memberdayakan masyarakat yang terpinggirkan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan air.
Kondisi Sumber Daya Air Indonesia
Dewan Sumber Daya Air Nasional mamaparkan bahwa pada tahun 2025, Indonesia terancam krisis air tingkat menengah, puncaknya pada tahun 2040 Indonesia akan benar-benar mengalami krisis air bersama dengan 9 negara lainnya diantaranya Angola, Nambia, Turki, Itali, Rusia, China dan India[1].
Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG dalam acara World Water Forum ke 10[2] menyebut krisis air semakin menjadi ancaman serius dan harus menjadi perhatian seluruh negara. Ancaman krisis air akibat perubahan iklim dibantu dengan emisi GRK mengakibatkan proses pemanasan global terus berlanjut. Ketersediaan air permukaan dan air tanah semakin berkurang akan mempengaruhi ketersediaan air bersih di berbagai tempat. Perubahan iklim juga membuat proses turunnya hujan menjadi ekstrim dan tidak merata, dimana sebagaian daerah memiliki curah hujan yang tinggi sedangkan di daerah lain tidak. Laporan Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga di Indonesia tahun 2020 melaporkan 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia menggunakan air yang tercemar bakteri Eschericia coli (E-Coli). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh para ahli lingkungan ITB menunjukkan bahwa hanya 18,1% penduduk Indonesia yang punya akses ke air aman, sementara 81,9% tidak[3].
Air merupakan kebutuhan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Krisis air bersih diprediksi akan mengakibatkan sebagian besar penduduk diberbagai kota di Indonesia terpaksa menggunakan dan mengkonsumsi air tercemar bakteri E. Coli dan Coliform.
Bagaimana dengan sumber daya air yang digunakan oleh masyarakat adat Kecamatan Toba.
Kecamatan Toba berada dalam wilayah pemerintah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Dengan luas wilayah 105.991,25 hektar, Kecamatan Toba terbagi dalam 7 desa diantaranya Desa Teraju, Lumut, Balai Belungai, Belungai Dalam, Sansat, Kampung Baru dan Bagan Asam. Berdasarkan data BPS pada tahun 2020, jumlah penduduk di Kecamatan Toba adalah 15.829 jiwa[4]. Penduduk di Kecamatan Toba di dominasi oleh masyarakat adat Dayak dengan berbagai sub-suku diantaranya Dayak Desa, Tobag, Kanayant, dan Ribun. Lainnya terdapat Melayu, Tionghoa, Batak dan Jawa.
Masyarakat adat di Kecamatan Toba umumnya mengandalkan beberapa jenis sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hariannya diantaranya air hujan, sumur, sungai dan air dalam kemasan. Penggunaan air hujan umumnya untuk minum dan masak. Ketersediaan air hujan bergantung pada intensitas curah hujan yang juga saat ini terpengaruhi oleh perubahan iklim. Dampaknya, waktu hujan yang tidak menentu membuat hujan bisa saja turun dengan intensitas tinggi dengan rentang waktu yang cukup panjang hingga mengakibatkan banjir atau bahkan dapat tidak turun dalam waktu yang cukup panjang dan mengakibatkan kekeringan. Selain itu, masyarakat adat juga bergantung pada sumber air dari sungai yang digunakan untuk kebutuhan MCK dan untuk kebutuhan lahan pertanian, namun kini air sungai sudah banyak tercemar dan terkontaminasi. Beberapa faktor penyebab polusi dan terkontaminasinya air sungai diantaranya:
Pengelolaan sampah rumah tangga dan sanitasi yang buruk
Limbah dari operasi perusahaan tambang, dan perkebunan sawit yang bocor
Sisa pupuk dari perusahaan perkebunan sawit dan HTI yang mengalir ke kanal-kanal kebun dan bermuara di sungai besar.
Tata kelola, perizinan atas investasi perusahaan-perusahaan yang terdapat di Kecamatan Toba yang berlokasi di dekat dengan sumber air masyarakat menjadikannya kerap berpotensi untuk terjadinya pencemaran.
Di beberapa desa ada yang harus bergantung pada air kemasan untuk konsumsi yang dibeli dengan harga cukup mahal yaitu Rp. 10.000/ galon dikarenakan transportasi menuju desa dan dusun tersebut yang cukup sulit. Akibat dari tercemar dan terkontaminasinya sumber air dengan banyak faktor diatas, masyarakat adat harus kehilangan sumber air bersih selain karna tidak dapat digunakan, pendangkalan sungai akibat tanah yang larut dengan air akibat operasional tambang. Penyakit gatal gatal yang diderita oleh masyarakat terutama anak-anak. Kemudian, sungai sebagai tempat masyarakat melakukan ritual adat juga tidak bisa digunakan. Beberapa dampak diatas bahkan memaksa beberapa masyarakat adat untuk pindah ke dataran yang lebih tinggi untuk mendapatkan sumber air yang masih terjaga.
Gambar: Aktivitas perusahaan tambang membuat pasir dan tanah masuk kedalam aliran sungai, akibatnya terjadi pendangkalan sungai dan airnya tidak dapat digunakan oleh masyarakat (Desa Sansat, Kecamatan Toba).
Gambar: WP dari salah satu perusahaan tambang bauksit yang ada di Kecamatan Toba yang berdampak pada kondisi lingkungan dan hutan sekitarnya.
Gambar: Sungai yang dulunya memiliki kedalaman hingga 2 meter dan airnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar termasuk dalam melakukan ritual adat, kini akibat operasional tambang membawa material tanah dan pasir masuk ke sungai hingga terjadi pendangkalan yang luar biasa menyisakan sedikit genangan air.
Dari paparan kondisi dan permasalahan diatas menyangkut isu “Keadilan Air” berikut ini adalah hal-hal yang saat ini harusnya sudah dilakukan oleh berbagai pihak diantaranya:
Pemerintah sebagai Pembuat dan Pelaksana Kebijakan:
Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat: Pemerintah harus mengakui dan menghormati hak masyarakat adat, termasuk hak mereka atas tanah, air dan sumber daya alam. Ini melibatkan penerapan kerangka hukum, seperti mengadopsi dan menegakkan hukum yang melindungi hak-hak masyarakat adat dan mempromosikan partisipasi mereka yang berarti dalam keputusan pengelolaan sumber daya air.
Tata Kelola Air yang Inklusif: Pemerintah harus membangun struktur tata kelola air yang inklusif dan partisipatif yang melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan platform, seperti dewan atau komite air, di mana masyarakat adat memiliki suara dan dapat berkontribusi secara aktif dalam pengelolaan sumber daya air.
Kerangka Hukum dan Regulasi: Pemerintah harus mengembangkan dan menegakkan regulasi yang membahas keprihatinan dan kebutuhan khusus masyarakat adat terkait sumber daya air. Ini mungkin termasuk peraturan tentang alokasi air, pengendalian polusi, dan penilaian dampak lingkungan, memastikan bahwa masyarakat adat dilindungi secara memadai dari praktek-praktek berbahaya.
Infrastruktur dan Layanan Air yang Memadai: Pemerintah harus berinvestasi dalam pengembangan infrastruktur dan layanan air di masyarakat adat untuk memastikan akses yang dapat diandalkan ke sumber air bersih dan aman. Ini mungkin melibatkan penyediaan dana dan dukungan teknis untuk pembangunan sumur, fasilitas pengolahan air, dan infrastruktur sanitasi.
Perusahaan Ekstraksi Sumber Daya Alam:
Menghormati Hak Masyarakat Adat: Perusahaan harus menghormati hak-hak masyarakat adat, termasuk hak mereka atas sumber daya air. Ini melibatkan konsultasi menyeluruh dan mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat adat sebelum memulai operasi ekstraksi yang dapat berdampak pada sumber air.
Penilaian Dampak Lingkungan: Perusahaan harus melakukan penilaian dampak lingkungan yang komprehensif sebelum memulai operasi. Kajian ini harus mengevaluasi potensi dampak terhadap sumber daya air dan mengidentifikasi langkah-langkah untuk memitigasi dan mengelola dampak negatif apa pun. Penilaian harus melibatkan keterlibatan yang berarti dengan masyarakat adat dan memasukkan pengetahuan dan kepedulian tradisional mereka.
Pengelolaan Air yang Bertanggung Jawab: Perusahaan harus menerapkan praktik pengelolaan air yang bertanggung jawab, termasuk meminimalkan konsumsi air, mengurangi polusi, dan menerapkan sistem pengolahan air limbah yang efisien. Hal ini membantu meminimalkan dampak negatif terhadap sumber daya air dan memastikan ketersediaan air bersih bagi masyarakat adat dan pemangku kepentingan lainnya.
Masyarakat Adat:
Penguatan Kapasitas Masyarakat: Masyarakat adat dapat membangun kapasitas mereka dengan memperoleh pengetahuan dan keterampilan terkait pengelolaan sumber daya air, termasuk pemantauan kualitas air, teknik konservasi, dan praktik penggunaan berkelanjutan. Ini memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan melindungi sumber daya air mereka.
Advokasi dan Kesadaran: Masyarakat adat dapat terlibat dalam upaya advokasi untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak mereka atas sumber daya air dan dampak isu terkait air pada komunitas mereka. Ini dapat melibatkan kolaborasi dengan organisasi lokal dan internasional, berbagi cerita mereka, dan menyoroti pentingnya keadilan air.
Pengetahuan dan Praktek Tradisional: Masyarakat adat dapat melestarikan dan mempromosikan pengetahuan dan praktek tradisional mereka yang berkaitan dengan pengelolaan air. Pengetahuan ini seringkali mencakup praktik berkelanjutan dan pemahaman mendalam tentang ekosistem lokal, yang dapat berkontribusi pada konservasi dan perlindungan sumber daya air.
Kolaborasi dan Kemitraan: Masyarakat adat dapat berkolaborasi dengan lembaga pemerintah, LSM, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengatasi tantangan terkait air secara kolektif. Dengan menjalin kemitraan, masyarakat adat dapat memanfaatkan sumber daya, keahlian, dan dukungan untuk memastikan suara mereka didengar dan hak air mereka dihormati.
[1] https://www.dsdan.go.id/infografis/krisis-air-bersih-di-indonesia.html
[2] https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=ancaman-krisis-air-bmkg-negara-maju-atau-berkembang-sama-sama-menderita-2&tag=press-release&lang=ID
[3] Rekacipta ITB, Selasa 9 Mei 2023, Halaman 8
[4] https://sanggaukab.bps.go.id/indicator/12/76/1/jumlah-penduduk-kecamatan-toba-menurut-jenis-kelamin.html
No Comments