29 Aug Masa Lalu dan Masa Kini Masyarakat Adat Sub Suku Dayak Tobag di Benua Labai Lawai dan Benua Kapuas Jaya
Benua Labai Lawai dan Benua Kapuas Jaya, merupakan wilayah besar Masyarakat Adat Sub Suku Dayak Tobag dan beberapa Sub Suku Masyarakat Adat Dayak. Benua Labai Lawai membentang dari Kabupaten Sanggau, Ketapang, Kayong Utara dan Kubu raya.
Benua Labai Lawai meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pawan. Terdapat beberapa sub-DAS, yang terkenal adalah sub-DAS Mendawak, sub-DAS Plunjung dan sub-DAS Labai. Sebagian Benua Laba Lawai diklaim oleh pemerintah dengan ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Konversi (HPK). Kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah disebut Hutan Lindung (HL) Mendawak, merupakan bagian dari Lanskap Kubu. Lanskap Kubu memiliki total luas 732.665 hektar, dengan ekosistem alam yang baik, seperti ekosistem Mangrove dengan luas 57.01 hektar, Gambut seluas 456.705 hektar dan ekosistem sungai dan laut seluas 101.606 hektar. Dengan luasan gambut yang masih terjaga dan alami di Kalimantan Barat sehingga kawasan ini masuk ke dalam Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) Kapuas-Jenuh yang ditujukan untuk konservasi hutan rawa gambut.
Beraneka satwa/fauna khas Indonesia dan Kalimantan, seperti Burung Ruai, Burung Enggang, Burung Kakatua dll, Mamalia seperti Orang Utan, Bekantan, Kukang, Beruang dll. Puluhan jenis ikan air tawar yang menjadi konsumsi dan satu ikan yang dilindungi yaitu Ikan Pesut/ lumba-lumba air tawar yang terancam punah. Semua berada di bentang alam Benua Labai Lawai. Kekayaan yang luar biasa dimiliki oleh masyarakat adat di wilayah adat mereka, yang telah memberikan kehidupan yang harmonis penuh kebahagiaan tanpa kehancuran.
SEJARAH DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT ADAT BINUA LABAI LAWAI
Harmoni dengan alam, bentuk dari kearifan masyarakat adat dalam menjaga, melestarikan, melindungi dan memanfaatkan tanah, hutan sebagai wilayah adat secara baik. Ratusan tahun masyarakat adat mendiami Benua Labai Lawai. Salah satunya adalah Masyarakat Adat Dayak Tobag yang berada di Kampung Bagan Asam, Labai Hilir, Sekucing Labai, Mungguk Pasir, Kampung Baru, Durian Sebatang, Tanjung Jangan. Mulanya Kampung Bagan Asam merupakan daerah jelajah, berladang, berburu dan meramu. Pada tahun 1920 masyarakat membangun kampung yang disebut Tembawang Tiga. Nama Bagan Asam baru ditetapkan oleh masyarakat pada tahun 1933. Bagan adalah tempat berkumpulnya orang atau istilah lain disebut steher. Karena bagan yang dibangun oleh masyarakat berada di bawah pohon asam maka disepakati bersama nama kampung diberi nama Bagan Asam. Pada tahun 1948 Kampung Bagan Asam/Tembawang menjadi Desa Bagan Asam, Kecamatan Meliau, pada tahun 1965 Desa Bagan Asam masuk ke Kecamatan Toba.
Penyebaran penduduk dari Tembawang Tiga, membangun pemukiman baru yang disebut Kampung Kucai. Masyarakat Kampung Kucai menyebar sehingga menjadi 2 Kampung yang kemudian menjadi Desa Labai Hilir dan Desa Sekucing Labai Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. Kampung Kucai dan Kampung Bagan Asam berada di DAS Kapuas. Dari Kampung Kucai ke Kampung Bagan Asam dapat ditempuh dengan waktu 15 menit menggunakan kato (perahu kayu kecil yang diberi mesin). Kini Masyarakat Adat Tobag telah menyebar di beberapa kampung di 4 kabupaten, yaitu Kabupaten Ketapang, Sanggau, Kayong Utara dan Kubu Raya.
Kehidupan pada masa itu diketahui bahagia karena masyarakat adat dapat memenuhi kebutuhan hidup mulai dari pangan, papan, dan sehat dari tanah hutan mereka sendiri. Ritual adat dijalankan dengan sakral dan khidmat oleh masyarakat. Gotong-royong dalam setiap pekerjaan dan aktivitas lain dilakukan dengan rasa kekeluargaan tanpa memperhitungkan untung dan rugi, semua dikerjakan tanpa ada rasa terbebani. Pengurus adat menjalankan fungsinya dengan benar, tanpa ada kepentingan politik dan ekonomi pribadi. Hukum adat dijalankan dengan baik mengatur norma-norma pergaulan masyarakat. Putusan-putusan adat dibuat dengan rasa tanggung jawab penuh dan apabila tidak dijalankan maka ada sanksi yang akan didapatkan. Ini menandakan kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lingkungan menjadi satu rantai kehidupan yang berjalan secara baik dan lestari.
Ritual adat Memparak merupakan salah satu bentuk berpinta dengan penghuni hutan tanah yang ada di wilayah yang akan mau dibuat adat memparak tersebut. Memparak ini meminta ke Nabi tanah selaku penguasa hutan alam yang dipercaya jika mereka berpinta maka akan disertai, dijaga dan diberi kemudahan disaat bekerja atau menjalankan aktifitas di area yang sudah dilaksanakan ritual ini.
SEBELUM DATANGNYA KOLONIAL KEHIDUPAN MASYARAKAT ADAT SANGAT HARMONIS DAN DAMAI
Harmoni manusia dan alam benar-benar menjadi satu kesatuan ekosistem yang saling bergantung. Kondisi harmonis mulai terganggu ketika Kolonial Belanda dan Jepang datang. Pasca kekalahan Belanda terhadap Jepang tahun 1942, masyarakat beranggapan akan lepas dari penindasan. Ternyata, anggapan tersebut hanya mimpi saja. 3 tahun Jepang menjajah, perilaku kejam yang dilakukan kepada masyarakat sama dengan ratusan tahun penjajahan kolonial Belanda.
Masih lekat di ingatan masyarakat Kalimantan Barat bagaimana kekejaman Jepang terhadap masyarakat dan tokoh-tokohnya. Contohnya adalah peristiwa Mandor Berdarah yang merupakan peristiwa pembantaian/genosida terhadap masyarakat dan para petinggi kerajaan, adat, dan kaum terpelajar.
Masyarakat adat Binua Labai Lawai dan sekitarnya pun tak lepas dari peristiwa pembantaian tersebut. Atas dasar ini, tokoh-tokoh muda adat dan lainnya bersatu untuk melakukan perlawanan. Perlawanan terhadap penjajahan Jepang ini disebut Perang Majang. Dalam hal eksploitasi sumber daya alam, tidak ada beda antara Belanda dan Jepang ketika menjajah. Di awal kependudukan Jepang masuklah 2 perusahaan besar yakni Nomura yang bergerak di sektor pertambangan dan Sumitomo di sektor perkayuan. Sumitomo diketahui beroperasi salah satunya di wilayah Binua Labai Lawai tepatnya di Kampung Sekucing Labai. Pada masa ini banyak masyarakat yang dikerja paksakan atau disebut Romusha. Kurang lebih 10.000 orang yang bekerja di sektor perkayuan, sementara di pertambangan kurang lebih 70.000 orang pekerja. Karena kerja paksa yang kejam ini, banyak pekerja meninggal dan ada yang harus pergi atau meninggalkan kampung halaman mereka.
KEBAHAGIAAN YANG TERUSIK
Kebahagiaan masyarakat adat Binua Labai Lawai pasca berakhirnya kependudukan Jepang di sana tidak bertahan lama. Ini dikarenakan tahun 1970 pada pemerintahan Soeharto mulai membuka investasi dengan memberikan ijin usaha eksploitasi sumber daya alam di wilayah adat binua labai lawai dan sekitarnya. Ijin-ijin tersebut berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada perusahaan dari dalam dan luar negeri seperti Inhutani pada tahun 1980, Lyman tahun 1980, PTPN tahun 1979, Alas Kusuma, Barito Pasifik, dan Benua Indah. Pasca reformasi kebijakan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam pun berlanjut sampai pada era sekarang dimana wilayah adat Benua Labai Lawai telah di petak-petakkan. Petak-petak tanah hutan tersebut kemudian dihamburkan kepada perusahaan-perusahaan melalui izin perkebunan kayu (HTI), perkebunan sawit dan pertambangan dan kini Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kehidupan masyarakat yang harmoni, damai dan penuh kebahagiaan, berladang tanpa ada ketakutan, menebang pohon untuk membangun rumah tanpa khawatir ditangkap, air bersih tak susah didapat, udara masih segar dihirup, pangan masih mudah diperoleh dari berburu binatang di hutan (babi hutan dan rusa) dan menangkap ikan. Ritual adat masih sangat sakral dilakukan dan bahan-bahan untuk ritual adat masih mudah di dapat. Hubungan sosial masyarakat masih sangat baik, gotong royong berjalan dengan baik tanpa dihitung dengan nominal. Tak terdengar masyarakat jadi korban keganasan satwa yang kelaparan karena habitatnya dirusak.
“Kami kira tanah kami luas ternyata kecil, karena tanah hutan atau wilayah adat kami telah diberikan kepada perusahaan oleh pemerintah , tanpa bertanya atau bermusyawarah dengan kami masyarakat adat di wilayah ini. Hutan itu, areal berhutan yang kami-kami jaga, itu dapat dibuktikan dengan adanya situs sejarah, bahwa tanah hutan tersebut adalah tanah kami yang berada dalam wilayah adat kami”. (Martin, Pemudat Adat 2024)
“Kini mau tebang pohon untuk ramuan rumah sudah dilarang karena katanya masuk kawasan hutan dan izin perusahaan perkebunan akasia (HTI), izin perusahan perkebunan Sawit dan Pertambangan. Jika kami paksa tebang pohon bisa jadi pindah rumah (Penjara). Lahan pangan kami rusak karena terkena limbah tanah gusuran pertambangan Bauksit, krisis air bersih, bencana banjir, cari ikan sekarang sudah susah apalagi berburu sudah susah tak bisa kami dapatkan lagi dan kini saat akan bergotong royong masyarakat bertanya berapa upahnya. Acara ritual adat pun sudah hilang kesakralannya, karena ada perubahan tempat ritual dan bahan-bahan untuk ritual pun sebagian sudah harus di beli di luar“. (Paul, Pemudat Adat dan Pengurus Adat 2024)
Merujuk pada gambar di atas, ada 18 perusahaan (data sementara) yang mendapatkan izin eksploitasi sumber daya alam di Benua Labai Lawai. Kerusakan ekosistem Benua Labai Lawai bukan menjadi ancaman tapi sudah terjadi. Sebagai ilustrasi, misalkan sebuah perusahan mempunyai izin seluas 10.000 hektar. Artinya, total ada 180.000 hektar tanah hutan yang dieksploitasi. Berdasarkan data tersebut total luas izin konsensi perusahaan eksploitasi SDA yang diberikan oleh pemerintah di Benua Labai Lawai ada 544,963 Hektar.
Berapa juta kubik pohon yang akan hilang, hilangnya pohon-pohon yang beraneka jenis tersebut berarti akan kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati. Hilangnya tanah hutan menandakan terputusnya pewarisan pengetahuan masyarakat adat antar generasi. Hilangnya kebudayaan dan peradaban mulia dan suci masyarakat adat akan membuat krisis pangan, air bersih, kesehatan dan krisis sosial.
Eksploitasi SDA dan manusia itu semua hanya demi keuntungan dan akumulasi kapital investor dan oligarki.
Penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia khususnya di Benua Labai Lawai, adalah untuk monopoli tanah dan sumber daya alam demi kepentingan industri perang dan keuntungan ekonomi kapitalis negaranya. Pola-pola kolonial dalam penguasaan sumber daya alam masih dapat kita lihat prakteknya di 79 tahun Kemerdekaan Indonesia Raya. Perampasan tanah dan sumber daya alam masyarakat terus terjadi. Hanya kali ini dengan cara-cara legal atau sah menurut pemerintah dan perusahaan penerima izin. Karena sudah sesuai dengan administrasi pemerintah yang telah ditetapkan secara Undang-Undang dan Peraturan.
Dengan banyaknya perusahaan-perusahaan harusnya dapat memberikan kesejahteraan masyarakat adat dan pemenuhan sumber-sumber kehidupan masyarakat adat di Benua Labai Lawai. Sesuai dengan “Pasal 33 ayat 3 bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemakmuran rakyat bukan hanya aspek ekonomi semata, namun juga aspek sosial, budaya, lingkungan dan politik. Jika hanya aspek ekonomi semata maka akan terjadi degradasi sosial, budaya dan politik dan lingkungan di masyarakat. Degradasi sosial, lingkungan, budaya dan politik yang kini dirasakan oleh Masyarakat Adat Benua Labai Lawai.
Dari 18 perusahan 7 di antaranya ada di Kabupaten Sanggau, 2 Perusahan Pertambangan Bauksit, 3 Perusahan Perkebunan Sawit, 2 Perusahan Perkebunan Akasia (HTI). Kemudian merujuk pada data Pemerintah Kabupaten Sanggau angka kemiskinan meningkat dari tahun 2022 tercatat 21,7 ribu atau 4,51 % kemudian di tahun 2023 kemiskinan menjadi 21,72 ribu atau 4,79 %. Dari data di atas menunjukkan keberadaan investasi tidak memberikan dampak signifikan menurunkan angka kemiskinan.
Tahun 2024 angka kemiskinan Kabupaten Kayong Utara 8% dari jumlah penduduk 132,521 jiwa, Kabupaten Ketapang 8 % dari jumlah penduduk 592,521 jiwa (turun dari 11%) dan Kubu Raya 4% dari jumlah penduduk 639,250 jiwa. Mengutip dari Policy Brief CELIOS dan Greenpeace Indonesia 26 Juni 2024 dalam judul “Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif”. Studi tersebut dilakukan menggunakan data 1.027 desa dari 14 provinsi mengungkapkan fakta bahwa desa yang bergantung pada sektor pertambangan memiliki akses pendidikan dan kesehatan lebih rendah daripada desa non-tambang.
“Kami sudah tidak berani mandi di sungai lagi, selain karena buaya yg sekarang jadi ganas, airnya sudah jahat (tercemar), badan sakit (gatal-gatal). Anak bayi saya sekarang saya mandikan pakai air hujan karna kasihan dia udah sakit gini, nangis terus. Penyebabnya karna itulah air sungai sudah jahat. (Perempuan Adat Dusun Kelapuk, Desa Kampung Baru 2024)
Dok : Teraju Indonesia, Potrait Pendidikan di Binua Labai Lawai, Desa Kampung Baru, Dusun Tanjung Jangan.
Dok : Teraju Indonesia, Potrait Kondisi Bangunan Pendidikan di Dusun Ketapan Desa Sansat.
Temuannya adalah masyarakat yang berada di desa tambang mengalami kesulitan mencapai SMA lebih tinggi. Selain itu menghadapi kesulitan lebih tinggi dalam mengakses air bersih serta memiliki potensi pencemaran air yang lebih tinggi. Jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan di desa pertambangan lebih sedikit dibanding non pertambangan.
Dok : Teraju Indonesia, Areal Washing Plant Bauksit PT DSM di Binua Labai Lawai
Artinya, Investasi yang didatangkan oleh pemerintah pada umumnya dan di 4 kabupaten khususnya di Benua Labai Lawai belum mampu mengentaskan kemiskinan rakyat, atau justru sebaliknya menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Masyarakat adat tiada bertanah, kehilangan hak atas tanah dan sumber daya alamnya kemudian menjadi pekerja buruh diatas tanahnya sendiri. Sehingga sumber-sumber produksi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, udara dan lainnya semuanya harus dibeli.
Kemiskinan tidak hanya dilihat dari uang yang diperoleh, namun kemiskinan juga harus dilihat dari kemudahan untuk mengakses lingkungan baik dan sehat, sumber air bersih, udara yang sehat. Kemudian akses pendidikan murah dan gratis bagi rakyat, termasuk kemudahan untuk mengakses infrastruktur dan kemajuan teknologi pertanian.
Keuntungan besar yang didapat investor dan oligarki merupakan kebahagian yang tak terkira, namun kebahagiaan tersebut terasa pahit bagi Masyarakat Adat Sub Suku Dayak Tobag di Benua Labai Lawai.
No Comments