Menakar Nasib Masyarakat Adat Pasca-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Menakar Nasib Masyarakat Adat Pasca-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Pada kesempatan yang lalu saya sudah menunjukkan bahwa dari sudut kepentingan asyarakat adat penetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak memberikan pengaruh yang positif bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ke depan. Beberapa pasal yang berpihak terancam mandul karena adanya kerangka regulasi yang sulit dipenuhi oleh masyarakat adat. Peluang terjadinya situasi yang lebih buruk justru jauh lebih besar (Zakaria, 2021).2 Maka, tidak heran jika UUCK 11/2020 lahir di tengah hujan gugatan berbagai pihak. Termasuk dari kalangan yang peduli dengan nasib masyarakat adat.3 Menanggapi respon negatif publik, Pemerintah coba memperbaiki kinerjanya melalui penyusunan peraturan pelaksanaan yang lebih diharapkan lebih bersahabat. Hal-hal yang buruk dalam Undang-Undang coba diperbaiki melalui seabreg Peraturan Pemerintahan yang diamanatkan. Mungkinkah?

Tidak Berubah

Menurut Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum yang dapat diakses di situs resmi pemerintah,4 subyek hukum yang berhak atas ganti rugi dalam proses pengadaan tanah untuk proyek pembangunan bagi
kepentingan umum salah satunya adalah masyarakat hukum adat. Hal ini tampak pada Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: (a) pemegang Hak Atas Tanah; (b) pemegang Hak Pengelolaan; (c) nazhir untuk tanah wakaf; (d) pemegang alat bukti tertulis hak lama; (e) masyarakat hukum adat (cetak
miring ditambahkan); (f) pihak yang menguasai Tanah Negara dengan itikad baik; (g) pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau (h)pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Meski begitu, pengakuan yang gamblang ini, sebagaimana yang telah terjadi pada masa-masa sebelum UUCK 11/2020 diundangkan, belum akan membuat nasib masyarakat adat menjadi lebih baik. Sebab, logika hukum yang bersyarat dan bertingkat tetap bertahan. Padahal, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Zakaria, 20185 dan Zakaria, et.al., 20206, alih-alih memenangkan kepentingan masyarakat adat, logika hukum ini malah membunuh (kepentingan) masyarakat.

Bertahannya logika hukum yang merugikan kepentingan masyarakat adat ini tampak jelas pada Pasal 23. lengkapnya, pada ayat  (1) disebutkan bahwa “Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf e merupakan sekelompok orang yang menguasai tanah ulayat secara turun-temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya, hukum adat yang masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum”; ayat (2)  “Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaannya diperkuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (cetak miring ditambahkan); dan ayat (3) menyebutukan bahwa “Tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanah yang berada di wilayah penguasaan kesatuan masyarakat hukum adat dan tidak dilekati dengan sesuatu Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan”.7

Pengaturan yang demikian itu seperti berbeda dengan pengaturan yang ada sebelumnya. Sebagaimana diketahui substansi yang sama ini pernah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 ayat (2) masyarakat hukum adat yang berhak memperoleh ganti rugi/kompensasi adalah masyarakat hukum adat yang sudah ditetapkan dengan peraturan daerah (cetak miring ditambahkan).

Padahal, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Zakaria, et.al. (2020),[1] selain ada logika hukum pengakuan bersyarat dan bertingkat/bertahap ini, masalah lain yang dihadapi oleh peraturan perundang-undangan ini adalah unit sosial sebagai subyek hak yang perlu ditetapkan melalui peraturan daerah itu tidak kompatibel dengan realitas sosio-antropologis di tingkat Ibid.

lapangan. Kerangka hukum yang ada saat ini hanya menyasar susunan masyarakat hukum adat yang memiliki kewenangan publik dan privat secara sekaligus. Seperti nagari dalam konteks Minangkabau, misalnya.

Padahal macam unit sosial di tingkat lapangan itu sangat beragam. Kecuali yang memiliki kewenangan publik-privat lebih banyak lagi susunan masyarakat adat yang bersifat privat saja (satuan-satuan sosial berdasarkan hubungan kekerabatan). Masing-masing susunan masyarakat adat itu tentu dengan sendirinya memiliki kapasitas yang beragam pula dalam mengakases proses legislasi untuk menghasilkan peraturan daerah yang dibutuhkan. Kecuali di beberapa daerah, penguasaan tanah adat saat ini lebih banyak terkait pada susunan masyarakat adat yang bersifat privat ini ketimbang yang bersifat publik-privat.9

Dalam kasus ganti rugi tanah adat untuk proyek pembangunan seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 boleh jadi akan langsung habis. Bahkan tidak akan cukup untuk menghasilkan peraturan daerah yang disyaratkan itu. Sebuah logika hukum yang sangat aneh.

Akan mengulang pengalaman masa lalu

Pasal 23 ayat 2 yang telah dikutipkan di atas memang tidak langsung menyebutkan penetapan keberadaan masyarakat adat melalui peraturan daerah melainkan menyebutnya ‘sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’. Pertanyaannya adalah peraturan perundangundangan yang mana yang akan diacu? UUCK 11/2020 sendiri tidak mengatur hal ini.10

Dikuatirkan, merujuk pada pengalaman masa lalu, frasa ‘sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan‘ akan diartikan sebagai ‘ditetapkan dengan peraturan daerah. Kekuatiran ini bukannya tanpa alasan. Sebagaimana diketahui, hingga masa reformasi, tidak/atau belum ada peraturan perundang-undangan yang menindaklajuti amanat UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria terkait pengakuan atas hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya. Baru pascareformasi muncul Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang mengamanatkan pengaturan pengakuan hak masyarakat adat atas tanah ulayat melalui peraturan daerah. Kebijakan ini sama sekali tidak mengatur tentang perlunya penetapan subyek melainkan mengatur langsung pengakuan obyek hak (atas tanah adat/ulayat).11

Namun, logika hukum tersebut berubah seiring dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang antara lain mengukuhkan keberadaan Pasal 67 ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat pun kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, yang setahun kemudian diganti lagi dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.

Selanjutnya, tanpa sempat digunakan secara luas, kecuali untuk beberapa sedikit kasus saja, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam

Kawasan Tertentu ini pun kemudian dicabut dan digantikan oleh Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang kembali mengatur tentang pengakuan tanah ulayat. Namun, mengikuti logika Pasal 67 ayat (2) jo Putusan MK 35 Tahun 2012, menurut kebijakan ini tanah ulayat akan didaftar di kantor pertanahan jika subyek haknya sudah ditetapkan dengan peraturan daerah.12

Pasal-pasal yang menguatkan

Tidak, atau tepanya belum, berubahnya logika pengakuan hak masyarakat adat atas tanah adat ini dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum tentu sangat disayangkan. Sebab, dalam beberapa kesempatan, terlihat ada niat baik untuk memenangkan kepentingan masyarakat adat ini. Misalnya, sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (2) alat bukti penguasaan tanah secara adat tidak lagi formalistik dan positivistik. Disebutkan, “Dalam hal alat bukti tertulis hak lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditemukan atau tidak berlaku lagi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pemilikan atau penguasaan dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari yang bersangkutan dan keterangan dari orang yang dapat dipercaya dan disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi”. Selanjutnya, pada bagian  Penjelasan untuk Pasal 22 ayat (2) ini dijelaskan bahwa “Saksi merupakan orang yang dapat dipercaya, bisa karena fungsinya sebagai tetua adat setempat (cetak miring ditambahkan) dan/atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di Desa/Kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal”.

Demikian pula dengan pengaturan yang ada pada Pasal 25 yang selengkapnya berbunyi: (1) Pemegang dasar penguasaan atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf g merupakan pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan; (2) Dasar penguasaan atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan alat bukti penguasaan, berupa: (a) akta jual beli atas hak tanah yang sudah bersertipikat yang belum dibalik nama; (b)  akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertipikatnya (cetak miring ditambahkan); (c)  surat izin menghuni; (d) risalah lelang; (e) akta ikrar wakaf, akta pengganti akta ikrar wakaf, atau surat ikrar wakaf; atau (f) bukti penguasaan lainnya.  

Pada bagian Penjelasan untuk ayat (1) dinyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan “pemegang dasar penguasaan atas tanah” adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak Atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertipikat (cetak miring ditambahkan) dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak Atas Tanah, Ganti Kerugian diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Demikian pula dengan pengaturan pada Pasal 41 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Dalam hal terdapat Objek Pengadaan Tanah yang berstatus tanah ulayat, Instansi yang Memerlukan Tanah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat dengan melibatkan tokoh masyarakat adat untuk mendapat kesepakatan dan penyelesaian dengan masyarakat yang bersangkutan yang dituangkan dalam berita acara kesepakatan”.

Langkah ke depan

Sebuah logika hukum baru untuk proses pengakuan hak masyarakat adat atas tanah – dan hak-hak lain pada umumnya — adalah suatu keniscayaan. Logika yang ada sekarang mengingatkan kita pada apa yang pernah terjadi pada masa kolonia Hindia Belanda itu. Ketika itu penduduk di bagi ke dalam 3 golongan: Orang Eropa (dan/atau penduduk berkulit putih lainnya), Orang Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan Asia Selatan misalnya), serta Bumiputra.

Sebagai penduduk kelas tiga tentu Bumiputra tentu saja mengalami sejumlah pembatasan. Salah satu pembatasan itu adalah, agar hak keperdataan golongan Bumiputra atas tanah dapat diakui dan mendapat acte van eigendom (sertifikat hak milik), subyek hukumnya terlebih dahulu harus mendapatkan keputusan (besluit) dari Pemerintah  cq. Departemen Dalam Negeri. Pada masa itu surat keputusan penyamaan kedudukan hukum kepada orang Bumiputra itu dapat diberikan bilamana orang yang bersangkutan memenuhi lima syarat: (a) berhasil menunjukkan bahwa dia bisa berbahasa Belanda dengan fasih seperti halnya orang Belanda; (b) berpakaian seperti orang Belanda; (c) bergaul dalam komunitas Belanda; (d) kemungkinan memperlancar usaha perdagangan orang Belanda; dan (e) sedapat mungkin beragama sama dengan orang Belanda, yaitu Kristen.

Politik diskriminatif terhadap masyarakat adat sudah saatnya diakhiri. Masyarakat adat yang sejak sebelum Republik Indonesia lahir dan yang telah beranak-pinak di wilayah kedaulatan pasca-proklamasi 17 Agustus 1945 sejatinya adalah warga negara Republik Indonesia. Berbeda dengan dengan konsep warga negara yang berlaku umum, warga negara RI yang bersangkutan juga telah mengembangkan dan/atau menjadi bagian dari sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum tertentu, yang secara ekplisit telah diakui oleh konstitusi (Psal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3)).

Dengan sistem-sistem (pra-negara) itu, meminjam kaca mata Clifford Geertz, warga negara yang bersangkutan adalah juga warga yang melampaui hakhak pribadinya sebagai warga negara suatu negara modern (modern state), dengan menjadi bagian atau menjadi warga dalam suatu sistem komunalitas yang khas dari suatu tatanan sosial yang berasal dari tradisi masa lampau (old tradition/old society). Dengan kata lain, yang diperlukan saat ini adalah menemukan mekanisme kenegaraan yang mampu mengakomodasi ‘kewarganegaraan yang lain’, suatu sistem kewargaan yang berakar pada tradisi itu ke dalam sistem ketatanegaraan yang ada.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah politik hukum pengakuan yang berbasis pendekatan politik (yang tergambarkan dalam logika hukum pengakuan yang bertahap dan bertingkat sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi politik hukum yang lebih ramah dan berorientasi. Betapapun, apa yang kemudian disebut sebagai masyarakat (hukum) adat itu tidak lain tidak bukan merupakan sistem pengelompokan sosial yang telah terlembaga sedemikia rupa. Sehingga tidaklah logis untuk menguji keberadaannya melalui suatu proses politik.

Dari kaca mata pendekatan soio-antropologis, yang disebut masyarakat (hukum) adat itu ‘punya nama dan jelas alamatnya’. Sebutlah susunan masyarakat nagari, suku, dan kaum dalam konteks Orang Minangkabau. Sehingga agak mustahil ada nagari, suku, atau kaum jadi-jadian. Palingpaling, yang mungkin terjadi, tidak diakuinya eksistensi suatu nagari oleh nagari yang lain, karena, boleh jadi, proses pemekarannya belum berjalan sesuai dengan tradisi. Jika ini terjadi juga bukan otoritas politik yang berhak menentukan kebenarannya melainkan diselesaikan oleh mekanismemekanisme adat-istiadat yang berlaku di daerah yang bersangkutan.

Langkah kedua, alih-alih berorentasi pada pengakuan subyek, menimbang begitu banyaknya hak masyarakat adat yang diakui, kebijakan mendatang itu lebih baik berorientasi pada proses pengadministrasian pengakuan berbagai hak (terutama yang strategis). Toh, menurut pandangan politik hukum terentu, pengakuan atas keberadaan subyek masrakat adat itu sudah ada di kontitusi (pengakuan secara deklaratoir) dan tidak perlu proses pengakuan yang konstitutif. Yang diperlukan adalah proses pengadministrasian akibat adanya pengakuan secara deklaratoir itu. Pengakuan subyek, yang beragam dan tergantung pada jenis hak yang akan diadminitrasikan pengakuannya, melekat pada proses pengakuan hak yang bersangkutan. Tidakk perlu ada proses penetapan subyek hak.

Langkah ketiga, karena soal pengakuan hak masyarakat adat ini menyangkut kepentingan lebih dari separuh warga negara maka proses pengadministrasian pengkauan hak-hak masyarakat adat itu haruslah sedekat mungkin kepada masyarakat adat. Untuk itu desentraliasi kewenangan hingga ke tingkat kabupaten/kota adalah suatu keniscayaan. Ini pun bukanlah sesuatu yang baru karena telah terjadi dalam sistem birokrasi negara saat ini. Misalnya, penerbitan sertifikat hak milik telah didesentralisasikan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Masyarakat adat mukanlah mahluk ruang angkasa yang menakutkan hingga perlu dijaga oleh parlemen daerah atau bahkan keputusan politik di tingkat Menteri.

Dengan perubahan paradigma sebagaimana yang disarankan dalam tiga langkah yang diusulkan di ataslah perbaikan nasib masyarakat adat di negeri ini bisa diharapkan. Semoga.***

No Comments

Post A Comment