Mitra Plasma Sawit Menjadi Miskin Atau Perbaikan

Mitra Plasma Sawit Menjadi Miskin Atau Perbaikan

Perkebunan sawit mejadi salah satu primadona pemerintah dan harapan untuk dapat meningkatkan pendapat negara, yang tentunya juga harus dpat meningkatkan pendapatan masyarakat, yang berujung pada kesejahteraan masyarakat, terutama di mana desa-desa atau kampung yang di masukkan kedalam konsesi perkebunan sawit.

Untuk memastikan hal tersebut berbagai regulasi di lahirkan oleh pemerintah supaya apa yang di harapkan benar-benar terujud, sampai yang terakhir di Terbitkannya UU cipta kerja no 10 th 2020, walau di bawah penolakkan berbagai macam elemen, karena isi dalam UU tersebut banyak pasal yang dianggap bermasalah , namun eksekutif dan legeslatif tetap mengesahkan UU Sapu jagat dalam suasana Pandemik covid 19.

Apakah yang tertuang dalam UU dan beratus aturan di buat, telah memberikan perbaikkan ekonomi bagi Masyarakat adat/Local?. Perkebunan sawit aman-aman saja tidak ada konflik lahan dengan masyarakat benarkah dan tidak ada merusak Lingkungan baik, benarkah klaim tersebut?

Tabel; contoh, Bagi hasil Mitra plasma perusahan perkebunan sawit

no

Inisial perusahan

Tahun operasi

Nilai Bagi Hasil Rp/bln/ha

Kecamatan/Kabupaten

1

SuryaAP

 

100.000/ talangan

Kec Toba, Kab Sanggau

2

KartikaPC

 

  50.000

Kec Semitau & suhaid, Kab KH

3

GadingTM

 

  50.000

 

4

SumateraML

 

1000 – ± 500,000

Kec Nanga Taman, Kab Sekadau

Pembagian bagi hasil besar kecilnya tergantung lahan masyarakat yang di  mitrakan dengan perusahan setelah di bagi lahan Mitra plasma dan Inti.

Supaya Bagi hasil terlihat besar di dapat maka masyarakat,  di lakukan akumulasi pendapatan per 3 bulan/ per hektar yang di berikan ke masyarakat mitra plasma, baik transfer ke rek petani atau bagi lansung oleh perusahan melalui koperasi. Yang ironis, masih terdapat perusahan membagikan dana talangan (utang tambahan bagi masyarakat ) per 3 bulan masyarakat mitra plasma, sementara perusahan terus

produks/panen TBS.  sementara perusahan terus berproduksi dan mendapatkan keuntungan.

Data di atas, Menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat yang bermitra plasma dengan perusahan belum dapat di katakan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat adat/local. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab pemerintah baik pusat dan daerah untuk melakukan evaluasi dan perbaikkan dalam tata kelo perkebunan sawit dalam hal ini Bagi masyarakat yang  Mitra Plasma dengan perusahan dengan skema inti-plasma. Kemana masyarakat harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka, hampir rata-rata masyarakat adat/ local terpaksa menjadi Buruh di perusahan perkebunan sawit dengan status mayoritas adalah harian lepas.

Konflik yang laten

Melihat kenyataan yang ada sangatlah miris kehidupan masyarakat yang menjadi mitra plasma perusahan perkebunan sawit. Sementara masalah ini tidak pernah terungkap oleh pemerintah, selain mengatakan jutaan orang bergantung hidup dengan perkebunan sawit, namun tidak melihat realita yang ada. Ini juga yang menjadi salah satu peyebab konflik yang lahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahan. Bukan hanya rendahnya bagi hasil mitra plasma, Masih banyak masalah yang di hadapi oleh masyarakat adat/ local yang bermitra plasma dengan perusahan perkebunan sawit:

  1. Hutang pembangunan kebun yang banyak tidak di ketahui oleh masyarakat, karena pada tahap awal sosialisasi di katakan perusahan akan membangunkan kebun tiap bulan bapak dan ibu terima hasil, faktanya masyarakat menangung Hutang yang cukup besar, sementara hasil yang di dapat sangatlah miris. Dampaknya banyak masyarakat kemudian menjual lahan mereka kepada pihak Ketika, baik pihak ketiga tersebut orang satu kampung dan juga orang-orang perusahan.
  2. Berkurangnya lahan Bertani ( meyempit) dan bahkan sudah tidak ada lahan, karena janji manis yang mennggiurkan dari perusahan saat sosialisasi, masyarakat pun meyerahkan lahan ( tidak jual putus) kepada perusahan cukup besar, sehingga Ketika hasil yang di terima tidak memadai maka mereka untuk berladang sudah tak ada lahan lagi.
  3. Tidak transparannya perusahan dalam bagi hasil, hal ini juga terkadang pihak manajemen berkerja sama dengan pihak koperasi, jika masyarakat menuntut ke perusahan maka, pihak perusahan melempar tanggung jawabnya kepada pihak koperasi. Yang unik di Kubu raya, ada koperasi mitra plasma tidak berada di desa-desa konsesi perusahan berada, justru kantor dan pengurusnya ada di kota Pontianak.
  4. Terdapat koperasi yang di bentuk berdasarkan keinginan perusahan, sebagai syarat untuk pencairan pinjaman uang ke bank dan juga mengikuti perintah UU saja. Namun kapasitas koperasi tidak sama sekali di tingkatkan, jadi koperasi hanya sebatas plang saja. RAT / RUA, di lakukan maka hanya perwakilan yang mengikuti RAT/RUA, sehingga berapa utang, berapa hasil produksi TBS banyak masyarakat yang menjadi anggota koperasi mitra plasma tidak mengetahui, bahkan ada koperasi indikasi tidak pernah melakukan RUA/RAT koperasi.
  5. Waktu peyerahan lahan dengan pembangunan kebun mitra plasma jauh selisih waktunya, misal peyerahan lahan dari masyarakat 2007, lahan plasma di bangun 2010, dan ini membuat petani masyarakat menunggu cukup lama, perusahan meyiasatinya dengan dana talangan/ hutang dll.
  6. Kriminalisasi dan intimidasi, di terima masyarakat yang mencoba bertanya dengan kritis masalah bagi hasil yang kecil dll. Begitu juga kepada pengurus koperasi yang mempertanyaan tentang dana bagi hasil, maka biasanya akan di intimidasi atau pihak perusahan mendorong terjadi pergantian pengurus koperasi, biasanya kepada ketua pengurus koperasi.
  7. Lahan yang akan di bangun kebun plasma, jauh dari pemukiman, yang saat sosialisasi akan berada di desa masing-masing. Bahkan ada lahan plasma yang berada beda kecamatan seperti yang terjadi di Kab Kapuas hulu, lahan plasma masyarakat kec suhaid berada di kec semitau. Tidak saja jauh, infrastruktuk kebun mitra plasma yang tidak terawat, kebun juga tidak terawat bahkan lahan kebun plasma itu berada di daerah rawa, sehingga pohon sawit yang di tanam itu tidak productive, sementara hasil produksi di potong terus untuk membayar utang.
  8. Tidak Prosedural pengurusan HGU baik kebun inti dan juga laham mitra plasma, sehingga banyak lahan pemukiman, lahan pertanian tersisa dll masuk dalam HGU perusahan. Dan ini terjadi di banyak konsesi yang ada di kampung-kampung masyarakat adat.

8 contoh masalah-masalah yang di hadapi oleh masyarakat adat/ local yang bermitra dengan perusahan perkebunan sawit. Ini belum termasuk tidak optimalnya CSR, tidak di penuhinya hak-hak buruh, krisis air bersih dan kerusakkan lingkungan di setiap pemukiman yang terdapat perkebunan sawit serta pabriknya. Pertanyaannya adalah apa yang harus di lakukan pemerintah dan perusahan?

Pemerintah harus segera meselesaikan masalah-masalah yang ada dengan kepentingan rakyat yang utama. Jika di biarkan  maka akan menjadi konflik kedepan, kemudian pemerintah juga melakukan monev secara keseluruhan dan mengambil Langkah-langkah tepat, bijak dan konverhensif bagi masyarakat , lingkungan dan perusahan, karena hal ini telah di mandatkan di UU dan peraturan yang mau tidak mau pemerintah wajib menjalankannya. Perusahan, selain menjalankan UU dan aturan yang benar, bukan hanya administrasi saja. Perusahan, Telah memiliki kebijakan pasar seperti FPIC dan NDPE serta kebijakkan lainnya, yang harus di jalankan dengan baik dan tepat. Hanya celakanya kebijakan ini yang mengetahui di levelan Top manajemen sementara di tingkat tapak atau manajemen tingkat rendah kebun dan pabrik tidak mengetahuinya.

Solusi konkritnya adalah, meyerahkan pengelolahan kebun plasma kepada masyarakat di bawah koperasi yang masyarakat bentuk dan sepakati. Perusahan sebagai avails, Pembinaan dan supporting peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola kebun sawit. Dengan demikian hasil masyarakat akan meningkat. 

Penutup

Konflik tanah antara masyarakat Mitra plasma vs perusahan bukanlah suatu yang biasa ini yang luar biasa, karena lahir dari kebijakan pembangunan negara yang eksploitasi SDA dan Manusia. Diawali dengan bagi hasil mitra plasma yang tidak sesuai dengan harapan dan janji manis yang di sampaikan oleh pihak perusahan dan pemerintah pada saat sosialisasi pertama.  

Lepas tangannya pemerintah dalam menyelesaikan konflik dapat di rasakan, karena banyak kasus dimana pengaduan masyarakat kepada pemerintah tidak mendapatkan penyelesain justru yang terjadi adalah kriminalisasi dan intimidasi yang di terima oleh masyarakat adat, seperti kasus masyarakat adat di Ketapang yang di alami oleh Pak likiau, Ketua Koperasi produsen Plunjung Jaya ( KPJJ) Kab Sanggau, Pak unjah di Kapuas Hulu, kades Entiban di Kapus Hulu dan masih banyak lagi kasus-kasus serupa.

UU dan peraturan serta kebijakan internasional hanya dijadikan alat semata untuk mengatakan bahwa perusahan sudah baik secara administrasi, namun fakta di lapangan berbanding lurus, hal ini tentunya menjadi perhatian Lembaga-lembaga yang konsen pada HAM dan lingkungan, melakukan protes-protes dengan tujuan terjadi perbaikan yang kongkrit, baik terhadap masyarakat dan lingkungan ( Tanah Hutan).  Sayangnya peringatan yang di berikan oleh masyarakat civil di anggap penggangu dan  kampaye hitam, sehingga banyak dari kalangan aktivias HAM dan lingkungan yang di kriminalisasi ( di tuduh sebagai pembuatan kejahatan). Di Indonesia begitu banyak hal tersebut di rasakan, begitu juga di internasional, seperti yang yang baru terjadi, yang di lakukan Korindo Group terhadap lembaga  Hutan Hujan dari jerman.

Kriminalisasi, intimidasi sampai pada tidakkan fisik tentunya sangat bertentangan dengan semangat pemerintah yang mengingakan pembangunan yang berkelanjutan yang di dasari pada tercapainya Sdgs. Dan yang di lakukan perusahan dengan kriminalisasi dan intimidasi, sebenarnya membuka tabir gelap, bahwa benar terjadi pelanggaran Ham dan Linkungan

No Comments

Post A Comment