10 Mar Nasib Buruh Perempuan di Perusahan Perkebunan Sawit, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat
Aminah (bukan nama sebenarnya), 35 tahun, telah bekerja sebagai buruh lebih dari 5 tahun di perusahan perkebunan sawit yang ada di kampungnya. Dia berkerja di bagian pemupukan dengan upah Harian Kerja (HK) Rp. 100.000,-. Berbagai jenis pupuk kimia yang bersentuhan dengan dirinya, mulai dari NPK, Dolomit, Urea, HCL, Borate dan Pestisida/racun cair. Untuk pupuk tabur Aminah harus menghabiskan 200 Kg hingga 300 Kg bahkan bisa lebih dari 1000 kg. Jam kerja bergantung pada pendistribusian pupuk ke lokasi kerja. Terkadang dimulai pada pukul 8 pagi dan selesai pada pukul 12.00 siang, tapi tidak jarang sampai sore hari karena banyaknya pupuk yang harus ditebar dan terlambatnya distribusi pupuk ke lokasi itu sendiri.
Setelah bekerja, biasanya Aminah dan rekan-rekan buruh pupuk yang lain langsung pulang kerumah. Bagi yang punya kendaraan pribadi maka mengunakan kendaraan pribadi untuk pulang, yang tidak punya kendaraan pribadi biasanya menumpang alat angkut pupuk yang disebut Jonder. Di rumahlah bu Aminah baru membersihkan dirinya dengan sisa-sisa pupuk yang masih menempel di pakaian serta badan. Dia terpaksa membersihkan diri dirumah karena tidak ada rumah bilas atau tempat membersihkan diri yang disiapkan oleh perusahaan di blok-blok kebun. Padahal adanya rumah bilas sangat penting di kebun apalagi untuk mereka yang hari-hari kerjanya bersentuhan dengan pupuk-pupuk kimia. Tidak hanya itu, hal lainnya seperti air bersih yang layak konsumsi pun tidak disediakan oleh perusahaan. “Hanya sebungkus kecil susu kental manis untuk menetralisir racun” ujar Aminah mengutip perkataan seorang staf kebun. Alat kerja yang diberikan pun tidak menyesuaikan dengan kondisi geografis, bahkan masker yang diberikan oleh perusahaan bukanlah masker standar untuk pekerjaan pemupuk yang bersentuhan dengan zat-zat kimia.
Aminah dan rekan-rekannya pun tidak memiliki jaminan kesehatan karena status kerja yang dianggap perusahaan adalah buruh harian lepas (PKWT) padahal mereka telah berkerja lebih dari 5 tahun. Ini berpengaruh pada upah yang diterima mereka, yang setelah dihitung dibawah UMP. Jadi jika Aminah atau buruh lainnya sakit maka biaya perobatan harus mereka tanggung sendiri. Jika dibawa ke klinik perusahaan hanya diberikan Paracetamol saja. Bahkan pernah ada buruh perempuan yang mengalami keguguran saat berkerja, dan tidak ada kepedulian manajemen kebun perusahan.
Dampak Eksploitasi Buruh Perempuan
Apa yang dialami oleh Aminah juga dirasakan oleh buruh-buruh perempuan yang berkerja di perusahan perkebunan sawit. Banyak perusahaan belum memperhatikan kondisi lingkungan dan buruh perempuan yang bersentuhan dengan bahan-bahan beracun yang sangat rentan jika tersentuh kulit dan terhirup melewati pernapasan. Apa lagi jika itu berlangsung dalam waktu yang lama. Kondisi lingkungan pemukiman pun tak lepas dari pencemaran pupuk-pupuk kimia. Air kanal-kanal kebun sawit perusahan yang mengalir ke saluran air atau parit di mana saluran air tersebut digunakan oleh masyarakat dan buruh yang tinggal di kampung-kampung. Air hujan yang ditampung adalah sumber air utama yang digunakan untuk minum dan masak. Untuk mandi biasanya mereka menggunakan air dari saluran yang telah tercemar oleh limbah-limbah pupuk yang masuk ke kanal dan mengalir ke parit-parit warga.
Air parit yang tercemar kimia tidak hanya dirasakan oleh buruh perkebunan sawit yang berada di kampung-kampung, namun juga dirasakan oleh buruh-buruh perempuan yang tinggal di perumahan-perumahan yang disediakan oleh perusahaan. Baru-baru ini ada riset yang dilakukan oleh Ecoton yakni meneliti kondisi air yang digunakan oleh buruh dan masyarakat setempat. Hasilnya menunjukkan bahwa sumber air yang ada telah tercemar oleh limbah-limbah pupuk kimia dan tidak layak pakai.
Dampak defesiensi & konsentrasi berlebihan seng terhadap kesehatan.
Hasil pengujian sampel rambut buruh perempuan yang bekerja di bagian pemupuk memiliki konsentrasi logam berat yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, ibu rumah tangga dan pemanfaat air yang tercemar oleh aktivitas perkebunan. Diantara tujuh logam berat yang diuji, hanya timbal (Pb) dan cadmium (Cd) yang terdeteksi melebihi panduan batas kontaminasi WHO sebesar (0.2 mg Pb/kg ) dan negara maju seperti Italia, Jepang dan Inggris (0.03 mg Cd/kg; 0.05 mg Cd/kg; 0.11 mg Cd/kg) pada semua sampel. Konsentrasi merkuri (Hg) melebihi batas maksimum berdasarkan panduan US-EPA (Amerika Serikat) sebesar 1.2 mg Hg/kg. Sementara konsentrasi seng (Zn) dan besi (Fe) pada semua sampel menunjukkan defisiensi atau konsentrasi yang lebih rendah dari kadar normal/sehat. Kadar Fe pada rambut pekerja perempuan pemupuk berada pada kisaran konsentrasi pasien anemia yang mengalami defisiensi Fe. Perlu diingat bila keracunan logam berat dapat menyebabkan berbagai penyakit hematologis. Penyakit hematologis adalah penyakit yang berkaitan dengan darah dan organ yang memproduksi darah, seperti anemia, kanker darah, dsb.
Dari laporan yang disampaikan, Lembaga Teraju Indonesia melakukan peninjauan kelapangan untuk memastikan kondisi kerja buruh perempuan di perusahaan perkebunan sawit yang menjadi tempat penelitian. Hasil tinjauan lapangan didapatkan informasi bahwa buruh pernah diambil sampel darahnya, namun tidak diberi tahu hasil dari cek darah itu. Beberapa buruh perempuan yang dijumpai mengalami penyakit gatal-gatal yang parah sampai pada daerah kemaluannya. Tidak ada evaluasi penggunaan APD apakah sesuai atau tidak dengan kondisi kerja buruh pemupukan dengan melihat kondisi geografis. Temuan yang sama ternyata buruh-buruh perempuan yang berkerja di pemupukan mayoritas berstatus buruh harian lepas dan tidak terdaftar ke BPJS Kesehatan yang seharusnya tanggung jawab perusahaan yang harus mendaftarkannya.
Pemerintah, Buyer dan lembaga keuangan harus bertanggung jawab.
Dengan terbitnya UU Cilaka/Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 dan turunannya (inskonstitusional bersyarat) telah memberikan keringanan terhadap perusahan yang abai atas kerusakan lingkungan yang berdampak pada masyarakat dan buruh. Berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan hanya mendapatkan sanksi administrasi belaka yang diberikan kepada perusahan, sementara nyawa rakyat terutama masyarakat dan buruh khususnya perempuan yang terkena dampak langsung tidak menjadi perhatian pemerintah. Tentunya hal ini menjadi sangat ironis di tengah keinginan pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Para buyer yang membeli CPO atau produk turunannya harus memastikan kepada setiap perusahaan pemasoknya untuk menjalankan kebijakan keberlanjutan mereka sesuai dengan standar yang telah di tetapkan baik standar nasional dan atau standar internasional. Menjalankan kebijakan keberlanjutan tersebut harus etis, transparan dan mengedepankan HAM. Demikian juga bank-bank yang memberikan pinjaman keuangan harus bertanggungjawab atas pencemaran dan bahaya pupuk kimia yang telah memberikan dampak terhadap buruh perempuan. RSPO harus menegur keras bahkan mencabut sertifikasi terhadap perusahaan yang telah melanggar P&C mereka. Ini bisa dilakuan tanpa menunggu komplain yang masuk, karena jelas-jelas dan terang melanggar.
NDPE yang telah menjadi kebijakan perusahaan seharusnya disampaikan juga pada tingkatan manajemen di tapak, bukan hanya dijadikan pencitraan belaka. Melihat apa yang terjadi diatas terhadap buruh perempuan dan masyarakat lainnya di sekitar konsesi perkebunan sawit mereka merupakan pelanggaran dari kebijakan keberlanjutan perusahan dan juga melanggar Undang-undang K3. Pertanyaannya kemudian, apakah manajemen kebun tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa manajemen induk (Group) atau owner memiliki kebijakan keberlanjutan yang mengatur dan berlaku hingga ke anak perusahan dan prateknya di tingkat tapak. Edukasi atau training standar kebijakan berkelanjutan dalam hal ini seperti NDPE, ESG, FPIC, dan lain-lain yang menjadi jualan atau promosi perusahan di pasar internasional harus diberikan kepada manajemen tingkat kebun/tapak, dari mulai General Manager, Branch Manager sampai ke asisten, mandor pengawas dan termasuk buruh. Kegiatan monitoring dan evaluasi hasilnya harus terbuka dan disampaikan kepada publik terutama masyarakat yang ada di sekitar konsesi dan buruh perkebunan sawit.
Mengingat pentingnya hasil temuan yang telah diterbitkan di Mongabay, rekomendasi tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap kadar logam berat pada darah, urin dan rambut pekerja perempuan pemupuk dengan jumlah responden yang lebih luas, terutama untuk arsenik (As) dan gejala-gejala keracunan yang dialami dan penyakit yang diderita. Selanjutnya adalah pentingnya advokasi terhadap perlindungan buruh, terutama melakukan evaluasi terhadap kesesuaian APD yang diberikan kepada buruh yang bekerja dengan bahan beracun dan berbahaya seperti pestisida dan pupuk dan edukasi terkait dampak paparan bahan beracun dan berbahaya terhadap kesehatan buruh, pelaksanaan praktek perlindungan kesehatan terhadap buruh yang dilakukan oleh perkebunan, contohnya melakukan pengambilan darah tetapi tidak memberikan penjelasan terhadap hasil uji lab darah tersebut.
Bung Tomo
Teraju Foundation
zulkahfi
Posted at 11:27h, 10 MarchMendapatkan jaminan atas keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hak dari setiap tenaga kerja. hal ini pun telah diatur di berbagai landasan hukum, antara lain: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970, Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang kesegatan, Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan, dan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 Tentang penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.
salah satu bentuk implementasi k3 adalah penyediaan dan penggunaan alat pelindung k3 atau alat pelindung diri (APD).
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2010.
sanksi pelanggaran terhadap UU Keselamatan dan Kesehatan Kerja, maka akan menghadapi ancaman pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda pidana paling banyak Rp.15.000.000 (Lima Belas Juta Rupiah). ini semua hanyalah pencitraan belaka saja.