Pernyataan Sikap: Rentetan Kriminalisasi Petani di Bulan September, Kado Pahit Peringatan Hari Tani Nasional

Pernyataan Sikap: Rentetan Kriminalisasi Petani di Bulan September, Kado Pahit Peringatan Hari Tani Nasional

Lebih dari enam dekade berjalan, cita-cita Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) urung terlaksana dan semakin jauh dari harapan. Sebab hak atas tanah dan sumber-sumber agraria bagi rakyat masih sebatas jargon dan janji-janji semu pemerintah. Alih-alih memberikan pengakuan hak atas tanah, negara sebagai pelaksana mandat konstitusi justru tidak hentinya melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif. Melalui aparatnya, terus melakukan intimidasi dan teror kepada petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan rakyat kecil lainnya yang tengah memperjuangkan hak atas tanah mereka.

Sepanjang September 2021, yang diperingati sebagai bulan kelahiran UUPA dan Hari Tani Nasional, puluhan petani dan para pejuang agraria di seantero negeri mengalami kriminalisasi di atas tanah mereka sendiri. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 25 petani dikriminalisasi di tujuh wilayah konflik agraria. Kasus tersebut terjadi pada berbagai sektor, mulai dari perkebunan (negara dan swasta) hingga kasus pertambangan.

  1. Di Blitar, Jawa Timur, Atem salah petani anggota Pagayuban Petani Aryo Blitar, mendapatkan upaya kriminalisasi. Kendati salah satu Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang diajukan KPA pada Presiden Jokowi ialah eks HGU swasta PT. Rotorejo Kruwuk, upaya kriminalisasi PT Rotorejo Kruwuk pada petani telah terjadi berkali-kali. Pertama kali terjadi sekiranya tahun 2016, lalu berulang Januari 2021 dan September 2021. Tanpa teguran yang patut terlebih musyawarah, Atem mendapat panggilan polisi karena dugaan tindak pidana menggunakan delik yang terdapat pada UU Prp Nomor 51 Tahun 1960 yang kerap kali digunakan pihak swasta dan negara mengkriminalisasi petani dengan cara yang serampangan dan tidak berkeadilan. Padahal senyatanya, PT Rotorejo Kruwuk tidak memiliki hak atas tanah karena HGU-nya habis sejak tahun 2009 dan tidak pernah diperpanjang lagi.
  2. Pada 29 September 2021, tujuh orang petani di Daerah Aliran Sungai (DAS) Konto, Badas, Kabupaten Kediri mendapatkan kriminalisasi oleh PT Gemilang Bumi Sarana. Hudlori, Suroso, Susanto, Tarsiman, Sunarsih, Marni, dan Tukidi diadukan oleh PT Gemilang Bumi Sarana karena dianggap mengganggu jalannya usaha pertambangan. Satu minggu sebelum pemanggilan, terdapat ancaman dari pihak PT Gemilang Bumi Sarana. Sejak tahun 1950, masyarakat Desa Blaru Kecamatan Badas Kabupaten Kediri sudah produktif menggarap tanah di DAS Konto. Namun di tahun 1990, terjadi penambangan pasir yang tentunya sangat merugikan masyarakat. Akibat penambangan tersebut tanah-tanah menjadi rusak dan masyarakat Desa Blaru kehilangan mata pencariannya. Sehingga masyarakat Desa Blaru mengalami kerugian serta perubahan ekonomi, sosial, dan budaya.
  3. Di ujung timur pulau Jawa, terdapat pula kriminalisasi terhadap petani Pakel, Kabupaten Banyuwangi. 6 (Enam) orang petani yaitu, Julia, Asmora, Harun, Isbiriyanto, Sholihin, dan Sulastiyono mendapatkan panggilan oleh kepolisian. Upaya kriminalisasi di lokus dan isu yang sama sudah dilakukan berkali-kali dengan berbagai delik pidana yang seringkali dipaksakan penerapannya. Upaya kriminalisasi yang dilakukan kepada para petani Pakel merupakan bentuk penyerangan dan pembungkaman atas perjuangan untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka.
  4. Selain itu, juga terdapat upaya kriminalisasi petani yang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara V kepada petani sawit di Riau, yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Mandiri (Kopsa M). Petani tersebut dikriminalisasi karena menjual hasil kebun sendiri. Akhirnya, mereka dilaporkan karena dianggap menggelapkan barang oleh PTPN V di Polres Kampar. Hingga, pada bulan September tahun 2021,  telah ditetapkan status tersangka terhadap dua orang Petani.
  5. Beranjak ke pulau Sulawesi,  terdapat upaya kriminalisasi petani asal Batui Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Suparman dilaporkan sebagai tersangka beserta 5 (lima) petani Batui lainnya sebagai saksi. Mereka dilaporkan atas tindak pidana pencurian dan penggelapan karena dituduh mencuri sawit sejak Maret sampai Juni 2021 di kebun plasma PT Sawitindo Cemerlang. Melalui berbagai ancaman serta tindakan intimidatif oleh perusahaan dan Koperasi Sawit Maleo Sejahtera, petani Batui dipaksa menjadi petani plasma.
  6. Masih di Sulawesi Tengah, Gusman dan Amir, petani dari Petasia Timur Kabupaten Morowali Utara mendapat kriminalisasi setelah dilaporkan oleh PT Agro Nusa Abadi. Bahkan Gusman ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan oleh Kepolisian Resor Morowali Utara.
  7. Terakhir, kriminalisasi juga terjadi di Kapupaten Buol, Sulawesi Tengah terdapat 2 (dua) petani yang ditahan oleh Kepolisian Resor Buol, akibat berkonflik dengan perusahaan PT Handaya Inti Plantation.

Ketujuh kasus di atas semakin memperpanjang preseden buruk situasi konflik agraria di Indonesia. Bahwa Negara telah melalukan upaya-upaya secara sistematis untuk melemahkan dan menghancurkan perjuangan hak atas tanah yang dilakukan oleh serikat petani dan organisasi rakyat.

Situasi di atas merupakan cerminan kebijakan Negara yang semakin menyimpang dari konstitusi, mengkhianati cita-cita UUPA 1960 yang telah memandatkan negara untuk menyelesaikan konflik agraria dan meredistirbusikan tanah kepada petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan rakyat kecil lainnya.

Reforma agraria yang selalu dijanji-janjikan oleh pemerintahan ini semakin terasa usang. Bukan penyelesaian konflik dan hak atas tanah bagi petani yang terlaksana, tetapi konflik agraria dan perampasan tanah yang semakin meluas. Kriminalisasi dan koflik agraria yang terjadi sepanjang bulan ini adalah kado pahit bagi petani dan masyarakat pedeasaan yang tengah memperingati 61 tahun kelahiran UUPA dan hari tani nasional.

Atas dasar tersebut, KPA mendesak dan menuntut pemerintah untuk segera:

  1. Memerintahkan aparat keamanan negara (POLRI dan TNI) untuk menghentikan tindakan intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan korban perampasan tanah lainnya.
  2. Menarik seluruh aparat keamanan dari wilayah konflik karna keberadaan mereka kontraproduktif dengan upaya penyelesaian konflik agraria
  3. Menindak secara tegas para pihak baik pengusaha, perusahaan, dan aparat keamanan yang menjadi penyebab ataupun terlibat dalam konflik agraria.
  4. Mencabut peraturan hukum yang memihak, memperluas dan melegalkan perampasan tanah seperti UU Cipta Kerja termasuk seluruh PP turunannya.
  5. Menghentikan perampasan tanah, selesaikan konflik agraria dan laksanakan reforma agraria sesuai mandat Konstitusi dan UUPA.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat untuk dipahami oleh semua pihak.

 

Jakarta, 7 Oktober 2021

Konsorsium Pembaruan Agraria

 

 

Dewi Kartika

Sekretaris Jenderal

 

Halaman asli dapat dilihat disini.

No Comments

Post A Comment