PRESS RELEASE: Refleksi Hak Buruh Perkebunan Sawit dalam Hak Asasi Manusia (HAM)

PRESS RELEASE: Refleksi Hak Buruh Perkebunan Sawit dalam Hak Asasi Manusia (HAM)

Komitmen Indonesia dalam memenuhi aspek-aspek Hak Asasasi Manusia (HAM) tertuang dalam UUD Tahun 1945 yang mengindikasikan kewajiban multi pihak dan negara melalui pemerintah dalam hal penerapannya. Melalui UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM juga menegaskan bahwa Negara menghormati dan menjunjung hak asasi dan kebebasan dasar manusia yang secara kodrati melekat dan tidak terpisahkan dari manusia. Pada konteks buruh/pekerja, melalui UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan HAM menjadi landasan fundamental terkait kesempatan kerja dan kehidupan layak, perlakuan tanpa diskriminasi, jaminan hak-hak dasar buruh/pekerja termasuk keluarga. Secara khusus, melalui UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh aspek HAM menjadi poin utama yang wajib dikedepankan oleh baik pengusaha dan buruh/pekerja.
Demikian pula dengan Konvensi International Labour Organization (ILO) dimana Indonesia sebagai salah satu anggota PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) yang memiliki kewajiban untuk mengadopsi atau meratifikasi kebijakan terkait HAM dan kewajiban untuk menjamin pelaksanaan langkah dan kebijakan untuk menghormati (to respect), untuk melindungi (to protect), untuk memenuhi (to fulfill) dan memulihkan (remedy). Hingga saat ini Negara telah meratifikasi sejumlah konvensi yang berkenaan dengan buruh/pekerja, antara lain :
  1. Konvensi Nomor 29 tentang Penghapusan Kerja Paksa,
  2. Konvensi Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi,
  3. Konvensi Nomor 98 tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan Bersama,
  4. Konvensi Nomor 100 tentang Pemberian Upah yang Sama Bagi Laki-Laki dan Perempuan,
  5. Konvensi Nomor 105 tentang Penghapusan Semua Bentuk Kerjapaksa,
  6. Konvensi Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan,
  7. Konvensi Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja,
  8. Konvensi Nomor 182 tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak.
Pada konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau dikenal dengan istilah SDGs (Sustainable Development Goals) unsur HAM juga turut menjadi pondasi, antara lain :
  1. Tujuan 1: Penghapusan kemiskinan
  2. Tujuan 2: Penghapusan kelaparan
  3. Tujuan 3: Kesehatan dan kesejahteraan
  4. Tujuan 4: Pendidikan berkualitas
  5. Tujuan 5: Kesetaraan gender
  6. Tujuan 6: Air bersih dan sanitasi
  7. Tujuan 8: Pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi
  8. Tujuan 10: Penurunan kesenjangan
  9. Tujuan 16: Perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat
Secara spesifik jaminan bagi buruh/pekerja masuk kedalam Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UN Guiding Principles on Business and Human Rights) dimana langkah Uji Tuntas HAM (Human Rights Due Dilligence) menjadi acuan bagi pengusaha atau perusahaan untuk mengidentifikasi, mencegah, mengurangi dan tanggung jawab dampak buruk terhadap HAM di seluruh bagian rantai pasok.
Jika dilihat dari keragaman instrumen HAM yang ada dan dibandingkan dengan kondisi riil  buruh/pekerja perkebunan sawit termasuk keuntungan eksport Indonesia pada pasar global tentu menjadi tanda tanya, apakah praktek perlindungan HAM benar-benar dilaksanakan. Merujuk kepada indikator kerja paksa, pelanggaran yang terjadi antara lain :
1. Penyalahgunaan Kerentanan (Abuse of vulnerability).
Masyarakat adat dan lokal di Kalimantan Barat, merupakan masyarakat yang berasal dari kelas non-buruh/pekerja profesional, tidak memiliki pengetahuan khusus dalam hal kerja perkebunan sawit dengan latar belakang profesi asal yang didominasi oleh kelas petani tradisional. Disisi lain, akses informasi dan pengetahuan terkait hukum, peraturan, kebijakan nasional maupun internasional yang sangat sulit untuk diperoleh atau dapat dengan mudah dipahami berakibat pada penyalahgunaan praktek etis HAM memanfaatkan kerentanan tersebut dalam hal Hubungan Kerja, Upah dan Beban Kerja, penyediaan Fasilitas Pendukung Kerja termasuk jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
2. Penipuan (Deception).
Indikasi kuat melakukan penipuan terhitung sejak proses awal masuk bekerja, kontrak kerja tidak jelas, status kerja yang juga tidak jelas dan berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sehingga skema upah akan berkontradiksi dengan beban kerja, fasilitas pendukung kerja yang minim, hingga pengklasifikasian hak dan atau jaminan yang dapat diterima oleh buruh/pekerja tanpa dasar yang jelas. Praktek yang demikian juga berkaitan dengan buruh/pekerja yang didatangkan dari luar pulau, umumnya mereka ditawari pekerjaan dengan gaji atau upah yang besar, termasuk ketersediaan fasilitas pendukung selama bekerja namun hal tersebut berbeda dari kondisi yang sebenarnya.
3. Pembatasan pergerakan (Restriction of movement)
Langkah ini adalah proses yang paling lazim dilakukan oleh perusahaan terhadap buruh/pekerja. Banyak perusahaan yang secara terang-terangan menolak dan atau mengabaikan buruh/pekerja ketika membentuk serikat buruh/pekerja secara independent atau mandiri karena diangggap dapat mengganggu aktivitas perusahaan atau memperlambat proses tertentu yang berkaitan dengan kebutuhan perusahaan. Tidak jarang perusahaan membentuk serikat buruh/pekerja sendiri yang sebagai bagian dari pembatasan gerakan buruh/pekerja lain dan juga untuk kebutuhan memenuhi standarisasi tertentu yang diperlukan perusahaan dengan syarat keberadaan serikat buruh/pekerja.
Selain itu, pembatasan gerakan dengan langkah intimidasi, diskriminasi upah dan atau tekanan-tekanan dalam aktivitas kerja termasuk upah juga menjadi salah satu langkah perusahaan mengurangi suara-suara buruh/pekerja dalam menyampaikan saran, keluhan dan bahkan meminta pertanggungjawaban atas masalah yang ada.
4. Isolasi (Isolation).
Praktek yang terjadi adalah beberapa perusahaan yang tidak transparan merekrut tenaga kerja dari luar Kalimantan Barat untuk kemudian dipekerjakan di perkebunan sawit yang berada di lokasi terpencil, umumnya identitas diri (KTP) ditahan oleh perusahaan sebagai jaminan aga buruh/pekerja tidak melarikan diri, letak atau lokasi kerja berbeda dengan tujuan awal, dan buruh/pekerja tersebut biasanya diberikan lokasi tinggal (Barak) yang berada di areal perkebunan dan cukup terisolir dari lingkungan masyarakat.
5. Kekerasan fisik dan seksual (Physical and sexual violence).
Perilaku kekerasan fisik terbilang jarang terjadi, tetapi bukan berarti tidak ada. Praktek kekerasan ini pernah terjadi di salah satu perusahaan di Kab.Sekadau yang mana terjadi penyekapan dan pemukulan terhadap buruh yang didatangkan dari luar pulau Kalimantan. Ancaman akan melakukan kekerasan fisik tidak jarang ditemuai dan disampaikan secara verbal dan umumnya perusahaan memanfaatkan preman lokal atau tokoh masyarakat lokal yang disegani atau dihormati.
Perilaku kekerasan seksual secara fisik juga berada pada kondisi yang sama, dimana pelecehan secara verbal menjadi lazim atau umum terjadi pada saat bekerja dan hal tersebut dominan dialami oleh buruh/pekerja perempuan. Kalimat verbal yang berkaitan dengan kelamin, kondisi fisik yang mengarah ke seksologi dianggap sebagai candaan umum yang mana hal tersebut sebenarnya telah masuk dalam bentuk pelecehan seksual dan suatu waktu dapat berujung pada kekerasan seksual.
6. Intimidasi dan ancaman (Intimidation and threats).
Masih ditemukan praktek demikian, terutama bagi buruh/pekerja yang berani bersuara termasuk mereka yang bergabung didalam organisasi serikat buruh/pekerja. Intimidasi secara verbal kerap dilakukan oleh perusahaan, dengan narasi yang menyudutkan buruh/pekerja seperti “Pikirkan Keluarga sebelum melakukan protes” atau “Jangan menghancurkan sumber keuangan/pekerjaan sendiri jika tidak ingin rugi” dan bentuk narasi lainnya. Ancaman secara verbal termasuk hal yang lazim terjadi di perkebunan sawit “Jika merasa dirugikan silahkan berhenti atau mengundurkan diri dari perusahaan ini” adalah narasi yang paling sering dikemukakan oleh manajemen perusahaan. Tidak jarang pihak perusahaan juga melakukan mutasi atau pemanggilan atau pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa berdialog dengan buruh/pekerja.
7. Penyimpanan dokumen identitas (Retention of identity documents).
Hal ini umumnya terjadi pada buruh/pekerja yang berasal dari luar Kalimantan Barat, dimana dokumen identitas dijadikan jaminan untuk beberapa waktu sehingga buruh/pekerja tidak melarikan diri atau pindah ke perusahaan lain setelah didatangkan dari luar daerah.
8. Pemotongan upah (Withholding of wages).
Sama hal nya dengan sejumlah indikator lain, pemotongan upah adalah hal yang paling sering terjadi atau dialami oleh buruh/pekerja secara langsung. Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal report ini, buruh dikenakan beban pemotongan upah dengan berbagai macam alasan oleh perusahaan. Tidak jarang buruh juga mengalami pemotongan upah sebagai akibat dari keberaniannya dalam menyampaikan kritik atas masalah yang ada atau karena terlibat didalam aktivitas yang berkaitan dengan organisasi serikat buruh/pekerja.
9. Jeratan utang (Debt bondage).
Umumnya kondisi ini terjadi bagi buruh yang didatangkan dari luar pulau Kalimantan Barat, hutang biaya transportasi, hutang biaya tinggal dan bentuk-bentuk hutang lainnya yang dibebankan pada upah (pemotongan) dalam kurun waktu tertentu. Bentuk lainnya adalah pembelian Alat Kerja (AK) yang dibebankan dalam bentuk hutang yang pembayarannya dilakukan setiap bulan melalui pemotongan upah buruh/pekerja tersebut.
10. Kondisi kerja dan tempat tinggal yang tidak layak (Abusive working and living conditions).
Praktek ini sangat-sangat banyak terjadi dan sudah sejak lama terabaikan, fasilitas pendukung kerja yang tidak terpenuhi memberikan dampak besar bagi kesehatan buruh/pekerja. Tanpa Alat Pelindung Diri memadai bagi buruh/pekerja yang dalam aktivitasnya bersentuhan dengan bahan kimia, tanpa fasilitas kebersihan yang layak baik di lingkungan kerja maupun di wilayah tinggal (barak) buruh/pekerja, fasilitas pemeriksaan kesehatan dan lainnya yang sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi Negara namun tetap lolos dan terabaikan.
Sebagian perusahaan memang menyediakan fasilitas pendukung kerja tersebut, namun hal tersebut tidak berangkat atau timbul atas kesadaran tentang HAM buruh/pekerja tetapi lebih karena kebutuhan tertentu yang dapat memperlancar kondisi usaha, contohnya pembangunan satu unit rumah bilas untuk satu areal kebun yang sangat luas karena perusahaan ingin lolos dari syarat sertifikasi, pengecekkan dan atau lainnya yang mewajibkan kepatuhan.
11. Lembur yang berlebihan (Excessive overtime).
Dilihat dari kompleksitas pemberian upah buruh/pekerja perkebunan sawit di Kalimantan Barat, istilah lembur tidak jarang diklasifikasikan oleh perusahaan sebagai bagian dari Premi (Bonus) yang dihasilkan oleh buruh/pekerja. Hal ini terjadi karena tidak ada kepastian apapun yang berkaitan dengan cara mendapatkan upah atau nilai upah didasarkan pada perhitungan yang seperti apa, dampaknya ketika jam kerja telah melebihi ketentuan Negara (7-8 jam per-hari) buruh/pekerja diberikan upah dengan perhitungan Premi.
Skema lembur di perkebunan sawit juga tidak jelas, proses yang dibutuhkan untuk dapat dikatakan lembur juga tidak jelas sehingga tidak jarang lembur dihitung bukan menggunakan perhitungan jam kerja tetapi lebih ke nilai upah harian kerja buruh/pekerja. Untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu seperti Kerani Buah (Buruh/Pekerja yang menghitung buah panen setiap harinya) harus bekerja hingga larut malam dengan upah harian tanpa upah lembur, hal yang sama juga terjadi pada buruh/pekerja yang beraktivitas di pabrik pengolahan TBS – CPO.
Secara keseluruhan, praktek kerja paksa masih terjadi walaupun dalam konteks tertentu pemahaman kerja paksa bagi sebagian orang diartikan dalam bentuk adanya dampak fisik, dalam kondisi kegamangan antara mandatory dan voluntary yang ujungnya tetap berdampak pada buruh/pekerja. Ketika ditelaah lebih dalam menggunakan UNGPs, HRDD, SDGs, Konvensi ILO termasuk UUD Tahun 1945, UUK No.13 Tahun 2003, UU No.39 Tahun 1999 dan UU Serikat Buruh/Pekerja No.21 Tahun 2000 termasuk masing-masing turunannya jelas kemudian apa yang telah dan masih terus dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Barat masih jauh dari konteks Hak Asasi Manusia (HAM).
Kehidupan layak, kesejahteraan manusia dalam lingkaran keberlanjutan yang dibungkus oleh HAM tidak hanya kalimat tanpa makna, bahwa Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyak Indonesia (sila ke 5 dari Pancasila) seharusnya menjadi landasan perilaku etis penerapan isntrumen HAM dalam industry perkebunan sawit di Provinsi Kalimantan Barat.
-Teraju Indonesia-
No Comments

Post A Comment