SIARAN PERS DAN PERNYATAAN SIKAP FEDERASI SERIKAT BURUH KEBUN SAWIT KALIMANTAN BARAT

SIARAN PERS DAN PERNYATAAN SIKAP FEDERASI SERIKAT BURUH KEBUN SAWIT KALIMANTAN BARAT

ATAS KASUS TIDAK TERPENUHINYA HAK KESEHATAN BURUH DAN KELUARGA DI PT. ADITYA AGROINDO

Balita Anak Buruh Sawit Meninggal Karena Diabaikan Perusahaan: PT. Aditya Agroindo  Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat

Kejahatan kemanusian di PT Aditya Agroindo – Seorang balita perempuan berusia 3 tahun 3 bulan bernama Safira Talelu meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit di Pontianak pada pada 2 Mei 2025 pukul 23.23 WIB. Safira Talelu adalah anak dari Yohanes Talelu, seorang buruh harian lepas di bagian perawatan perkebunan sawit milik PT. Aditya Agroindo, yang merupakan anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Barat. Bapak dari balita tersebut direkrut oleh perusahaan dimana identitas ditahan/disimpan oleh manajemen perusahaan dan diduga identitas Pak Yohanes Talelu telah hilang (pengakuan dari Pak Yohanes Talelu ketika akan mengurus rujukan ke rumah sakit ketika dia meminta kepada pihak manajemen PT. Aditya Agroindo).

Sebelumnya, Safira Talelu mengalami kejang-kejang hebat dan dibawa ke klinik perusahaan. Dokter klinik kebun merujuk ke Puskesmas Balai Bekuak, Simpang Hulu. Akan tetapi Dokter Puskesmas Simpang Hulu  menyarankan dirujuk ke rumah sakit yang ada di Pontianak. Namun, karena Pak Yohanes Talelu tidak memiliki jaminan kesehatan (BPJS) dan pendapatannya tidak mencukupi untuk membiayai transportasi dan perawatan rumah sakit, upaya rujukan urung dilakukan. Pak Yohanes membawa Safira Talelu ke klinik kebun. Dokter klinik sudah meminta langsung kepada manajemen untuk membantu proses rujukan namun pihak manajemen PT. Aditya Agroindo menolak membantu proses rujukan. Pengurus serikat pun telah berkoordinasi dengan pihak manajemen kebun untuk Safira Talelu dirujuk ke rumah sakit di Pontianak dengan  biaya awal ditanggung oleh perusahaan. Lagi-lagi pihak manajemen kebun menolak. Karena pihak manajemen perusahaan PT. Aditya Agroindo tidak mau membantu proses rujukan almarhumah Safira Talelu dengan sangat terpaksa almarhumah dirawat klinik kebun dengan fasilitas sangat terbatas.

Berdasarkan rujukan Dokter klinik  kebun, teman-teman pengurus serikat dan pengurus federasi dengan persetujuan keluarga membawa almarhumah kerumah sakit rujukan yang ada di Pontianak, yang mana seluruh biaya ditanggung oleh federasi dan serikat buruh. Kurang lebih pukul 23.30 WIB dikabarkan oleh pengurus serikat yang ikut mengantar melalui pesan WhatsApp bahwa Safira Talelu telah meninggal dunia.

Tindakan Kejam dan Pelanggaran HAM

Peristiwa ini menunjukkan kegagalan total perusahaan dalam memenuhi kewajiban dasar terhadap buruh dan keluarganya. Fakta bahwa adik balita Safira Talelu meninggal karena keluarga tidak mampu membiayai pengobatan, sementara perusahaan menolak membantu, merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai anggota GAPKI, PT. Aditya Agroindo beroperasi di bawah bayang-bayang organisasi industri yang mengklaim menjunjung prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. Kasus ini membuktikan adanya jurang antara klaim dan kenyataan di lapangan.

Indikasi besar bahwa PT. Aditya Agroindo telah melanggar Undang-Undang dan peraturan yang merujuk pada tindakan pidana. Pasal pidana mengenai BPJS yang dimaksud adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sanksi pidana bagi pemberi kerja yang melanggar ketentuan iuran BPJS adalah pidana penjara paling lama 8 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi mengatur sanksi bagi pelanggaran data pribadi. Pasal 63 dan 67 mengatur tentang ancaman pidana penjara dan denda. Khususnya, Pasal 67 ayat 1 mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian pemilik data, dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 miliar.

UU dan peraturan terkait larangan kerja paksa tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 adalah Undang-undang yang mengesahkan Konvensi ILO Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa. Kemudian larangan kerja paksa juga tertuang dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, larangan kerja paksa juga di atur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Undang–Undang Kebebasan Berserikat Nomor 21 Tahun 2000, Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007, dan Undang-Undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan perkebunan sawit dan ketenagakerjaan.

Tuntutan Kami

Pengurus Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit (FSBKS) Kalimantan Barat menuntut dan mendesak:

  1. Kepada pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat untuk melakukan penyelidikan tindak pidana ketenaga kerjaan dan untuk memastikan semua buruh/pekerja di PT. Aditya Agroindo Group KPU yang bekerja diatas 3 tahun diangkat menjadi buruh/pekerja tetap serta memastikan tidak ada lagi intimidasi terhadap buruh/pekerja serta pengurus serikat buruh dalam bentuk apapun. Kami berharap semua dilakukan secara terbuka dan transparan serta secara partisipatif dan tertulis resmi.
  2. Kepada Bupati Kabupaten Ketapang untuk merespon dan mengambil sikap yang bijak dan tegas atas dugaan pelanggaran Undang-Undang dan Peraturan yang telah mencederai kemanusiaan dan keadilan, terutama yang dialami oleh buruh/pekerja dan masyarakat adat di PT. Aditya Agroindo Group KPU.
  3. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) segera mencabut keanggotaan PT. Aditya Agroindo Anak perusahaan  Kalimantan Plantation Unit (KPU) dan melakukan audit terhadap seluruh anggota GAPKI yang diduga melanggar Undang-Undang dan Peraturan terkait hak buruh.
  4. Kepada Buyer yang membeli TBS dan/atau CPO (Fuji Oil, P&G, Yum! Brands, KAO, Cargill, Basf, Stearinerie BUBOIS, General Mill, HERSHEY, LDC, Neste) PT. Aditya Agroindo dan seluruh anak perusahaan KPU, untuk dilakukan investigasi dan audit independen untuk sementara buyer menghentikan pembelian TBS dan/atau CPO.
  5. Kepada Pemerintah pusat dan daerah, Buyer, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Kepolisian, Komnas HAM, dan Legislatif untuk dapat melakukan monitoring dan evaluasi untuk memastikan semua perusahaan wajib memenuhi hak-hak buruh/pekerja terkhusus perusahaan perkebunan sawit. Kami tidak ingin kasus serupa terulang kembali di tempat lain.

Meninggalnya adik Safira Talelu adalah peringatan dan pembelajaran buat kita semua lemahnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh/pekerja perkebunan sawit dan tidak berjalanya monev, audit, dan penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit dalam hal ini PT. Aditya Agroindo KPU Group. Hal yang sama juga dilakukan oleh Buyer yang tidak memastikan asal usul CPO atau produk turunanya yang bersih dari pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Jika sistem terus dibiarkan seperti ini, akan ada Safira-Safira lain yang menjadi korban. Kami menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk bersolidaritas dan menuntut keadilan.

 

Untuk informasi lebih lanjut dan dokumentasi lapangan, hubungi:
Muali – Sekretaris
Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit Kalimantan Barat
083854759792

No Comments

Post A Comment