16 Apr Sudahkah Terjawab Tujuan Dari Perkebunan Yang Tertuang Dalam Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014, Menyejahterahkan Masyarakat Atau Kriminalisasi Yang Didapat?
UNDANG-UNDANG Perkebunan 39 Tahun 2014 Pasal 2 diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan. Dengan tujuan yang pertama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tertuang dalam Pasal 3. Fungsi dari perkebunan yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional.
Sungguh indah isi dari Undang-undang tersebut, namun faktanya jauh api dari panggang. Saat ini saja masih terjadi kelangkaan minyak goreng. Sungguh sangat memalukan, Indonesia sebagai negara perkebunan sawit terluas di dunia, terbesar ekspor di dunia, namun rakyatnya susah mendapatkan minyak goreng. Jawaban terbaik dari pemerintah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), bukan kemudian memecahkan akar masalah dari kejahatan mafia CPO/Minyak goreng, seperti yang dijanjikan oleh Kemendag.
Tidak hanya kelangkaan minyak goreng di perkotaan, carut marut perkebunan sawit dari hulu sampai hilir, belum bisa dipecahkan dan diselesaikan oleh pemerintah. Naiknya harga CPO di internasional ditambah dengan naiknya harga minyak goreng menambah besar tong-tong penampung keuntungan yang didapat oleh perusahaan. Para produsen bahan baku minyak goreng seperti masyarakat adat, petani mitra plasma dan buruh pun merasakan langka dan mahalnya harga minyak goreng.
Masalah demi masalah antara perusahaan perkebunan sawit dengan masyarakat (adat/lokal/ petani) terus terjadi. Ini dikarenakan pemerintah dan perusahaan mengabaikan hal-hal kecil dalam proses penyelesaiannya sehingga masalah menjadi besar. Salah satu yang sering terjadi adalah permasalahan tentang lahan dan bagi hasil mitra plasma (inti-plasma). Kemudian kasus pencurian TBS (Tandan Buah Segar), dalam hukum mencuri adalah hal yang salah, namun permasalahan kenapa masyarakat di sekitar konsesi perkebunan sawit mencuri juga harus dicari tahu.
Jika masyarakat yang bermitra plasma dengan perusahaan tidak mendapatkan bagi hasil yang mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan biaya pendidikan, ini bisa menjadi salah satu faktor pencurian TBS terjadi. Contoh bagi hasil yang di terima oleh masyarakat mitra plasma di beberapa konsesi, ada mitra plasma terima bagi hasil sebesar Rp. 35.000/3 bulan, bahkan ada yang Rp. 1.000/bulan. Yang lebih parah adalah lahan masyarakat diambil namun masyarakat tidak mendapatkan apa-apa selain hanya GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh) ini terjadi pada masyarakat di Kabupaten Kubu Raya.
Permasalahan yang ada seperti diatas memposisikan masyarakat adat/lokal dan petani sebagai pemilik wilayah adat dan tanah adatnya seakan-akan menjadi tamu atau menumpang di tanah leluhur mereka. Kasus yang adapun hanya menjadi lembaran cerita tanpa ada penyelesaian yang tuntas dilakukan oleh pemerintah yang memberikan ijin dan perusahaan yang berjanji melakukan peningkatan ekonomi masyarakat dan sebagainya, sehingga ijin tetap diberikan. Kasus yang terjadi tidak diurai untuk diselesaikan, malah masyarakat adat/lokal/petani dan buruh selalu menjadi tumbal dari kesalahan dan pelanggaran Undang-Undang Perkebunan oleh perusahaan.
Pertanyaannya, apakah implementasi Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 sudah benar?
Gambar diatas merupakan catatan tangan masyarakat adat yang menjadi mitra plasma perusahaan selama 10 tahun namun belum mendapatkan dana bagi hasil yang benar. Dia hanya mendapatkan dana talangan yang sama dengan utang, itupun diterima setiap 6 bulan sekali. Di foto tersebut terdapat perhitungan nilai lahan plasma.
No | Luas Lahan | Nilai Bagi Hasil |
1 | 0,91 HA | 48.600 |
2 | 1,2 HA | 64.000 |
3 | 1.36 HA | 72.000 |
4 | 1,48 HA | 73.000 |
5 | 0,47 HA | 85.000 |
Penerapan Undang-Undang 39 Tahun 2014 hanya pada aspek sanksi, dimana sanksi selalu menjadikan masyarakat sasaran tuduhan atas berbagai pelanggarannya. Jika tujuan dari Undang-Undang perkebunan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru yang terjadi adalah kriminalisasi yang dihadapi oleh masyarakat dan buruh. Kriminalisasi menjadi senjata perusahaan perkebunan sawit untuk mendiamkan masyarakat agar tidak menuntut akan hak-hak masyarakat yang tercantum dalam Undang-Undang. Upaya kriminalisasi ini telah dialami oleh banyak masyarakat salah satunya di Desa Sei. Enau, Kecamatan Mandor B, Kabupaten Kubu Raya yang mempertanyakan nasib tanah mereka yang telah diHGU-kan oleh perusahaan perkebunan sawit. Perusahaan yang melakukan kriminalisasi tersebut merupakan anak perusahaan WILMAR yang memiliki komitmen dan kebijakan No Deforestation, No Peat Development, and No Exploitation, sehingga terjadi protes oleh masyarakat. Kini dua orang tokoh masyarakat ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan pencurian buah dan menduduki/menguasai lahan perkebunan berdasarkan pada Undang-Undang Perkebunan 39 tahun 2014. Masyarakat pemilik lahan yang diHGUkan oleh perusahaan sampai saat ini tidak mendapatkan bagi hasil mitra plasma. Apa yang terjadi sesungguhnya perusahaanlah yang telah melanggar Undang-Undang Perkebunan nomor 39 tahun 2014.
Jadi kasus-kasus yang terjadi seakan-akan mendapat pembiaran atau pengabaian oleh pemerintah untuk diselesaikan, sehingga terjadi aksi-aksi dari masyarakat yang menuntut hak-hak hidup mereka. Ironinya tuntutan masyarakat yang disampaikan dengan cara yang diketahui oleh masyarakat, dijawab dengan intimidasi dalam bentuk kriminalisasi oleh perusahaan dan diaminkan oleh pemerintah. Di sisi lain, penegak hukum tidak memahami kasus/masalah yang terjadi secara menyeluruh, sehingga laporan dari pihak perusahaan itu yang diutamakan dan cepat untuk dieksekusi.
Kenapa masyarakat mencuri TBS?
Untuk apa mencuri TBS?
Apakah mereka mitra plasma perusahaan?
Berapa bagi hasil yang didapat oleh masyarakat?
Apakah ada mitra plasma yang diberikan bukti perhitungan berapa bagi hasil mitra plasma?
Berapa lahan yang diambil perusahaan?
Bagaimana proses mendapatkan lahan oleh perusahaan?
Bagaimana proses HGU di terbitkan?
Berapa upah buruh?
Bagaimana skema upah yang diterima oleh buruh?
Bagaimana beban kerja buruh?
Apakah diberikan fasilitas kesehatan dll?
Kenapa masyarakat menahan lahan/memportal lahan kebun yang diklaim sebagai lahan perusahaan?
Pertanyaan diatas dapat digunakan sebagai upaya pemenuhan data awal, sehingga akan lebih objektif dalam menerima laporan dari perusahaan, karena semua diatur dalam Undang-Undang. Dan dalam membaca Undang-Undang bukan dari belakang namun dari depan, mulai dari pertimbangan, masuk pada pasal-pasal, jika salah satu asas atau tujuan dari Undang-Undang tersebut tidak terlaksana, seperti kesejateraan masyarakat itu artinya ada masalah dalam pelaksanaan/penerapan Undang-Undang 39 tahun 2014 oleh pemerintah sebagai pemberi ijin dan perusahaan sebagai penerima ijin.
Hal-hal kecil ini dapat menjadi rujukan dalam mengungkap kenapa konflik masyarakat dengan perusahaan terjadi, kenapa masyarakat yang wilayah hidupnya diberikan oleh pemerintah ke perusahaan perkebunan sawit banyak yang mencuri TBS. Penting bagi pemerintah dan apparat keamanan untuk lebih maju kedepan, sehingga cita-cita dan tujuan perkebunan dalam Undang-Undang dapat terwujud dan berkeadilan sosial bagi rakyat, bukan bagi pengusaha dan oligarki.
-Opini Petani Mitra Plasma-
No Comments