Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu pilar utama perekonomian Kalimantan Barat. Industri ini memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan daerah, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Namun, di balik keberhasilan itu, berbagai persoalan hak asasi manusia (HAM) terus membayangi sektor ini. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran HAM terhadap buruh perkebunan sawit masih meluas. Praktik pemotongan upah sepihak, sistem kerja target yang tidak realistis, diskriminasi terhadap pekerja perempuan, status kerja yang tidak pasti, hingga pelanggaran hak atas kesehatan dan keselamatan kerja menjadi masalah yang belum terselesaikan. Selain itu, serikat buruh yang memperjuangkan hak-hak ini kerap menghadapi intimidasi, union busting, hingga kriminalisasi. Di sisi lain, ekspansi perkebunan juga kerap memicu konflik lahan dengan masyarakat adat dan lokal, serta mempercepat degradasi lingkungan hidup. Semua ini berkontribusi pada ketidakadilan struktural yang bertentangan dengan prinsip keberlanjutan yang sebenarnya. Menjawab tantangan ini, pendekatan berbasis hak asasi manusia menjadi semakin penting. Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Bisnis dan HAM yang disusun oleh Komnas HAM RI menawarkan kerangka kerja yang holistik untuk memastikan kegiatan bisnis, termasuk di sektor sawit, dijalankan dengan menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi manusia. Dengan mengintegrasikan SNP Bisnis dan HAM ke dalam praktik industri sawit di Kalimantan Barat, diharapkan tercipta transformasi menuju industri sawit yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan serta berkontribusi nyata pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Apa Itu SNP Bisnis dan HAM? Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Bisnis dan Hak Asasi Manusia adalah dokumen resmi yang disusun oleh Komnas HAM RI untuk memberikan panduan konkret tentang bagaimana negara, pelaku usaha, dan pihak lain seharusnya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia dalam konteks aktivitas bisnis. SNP Bisnis dan HAM mengacu pada Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights/UNGPs) yang berfokus pada tiga pilar utama: 1. Kewajiban Negara untuk Melindungi HAM Negara memiliki tanggung jawab untuk mencegah, menyelidiki, menghukum, dan memperbaiki pelanggaran HAM yang melibatkan aktor bisnis, termasuk memastikan regulasi dan kebijakan publik melindungi masyarakat dari dampak negatif aktivitas korporasi. 2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha untuk Menghormati HAM Perusahaan diharuskan untuk tidak menyebabkan atau berkontribusi terhadap pelanggaran HAM dan untuk mengidentifikasi, mencegah, serta menangani dampak negatif terhadap HAM melalui proses uji tuntas (human rights due diligence). 3. Hak atas Pemulihan bagi Korban Korban pelanggaran HAM akibat aktivitas bisnis berhak mendapatkan pemulihan efektif, melalui mekanisme yudisial (pengadilan) maupun non-yudisial (mediasi, ombudsman, lembaga HAM). SNP Bisnis dan HAM menegaskan bahwa keberlanjutan tidak hanya diukur dari aspek ekonomi dan lingkungan, tetapi juga harus mencakup keadilan sosial dan penghormatan hak asasi manusia, khususnya terhadap kelompok-kelompok rentan seperti buruh, masyarakat adat, perempuan, dan komunitas lokal. Dalam konteks perkebunan sawit di Kalimantan Barat, SNP BHR memberikan kerangka untuk mengatasi persoalan akut seperti eksploitasi tenaga kerja, konflik tanah, diskriminasi gender, hingga pelanggaran keselamatan kerja yang semuanya erat kaitannya dengan praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab. Dengan adopsi SNP Bisnis dan HAM, diharapkan dunia usaha sawit dapat memperbaiki praktiknya, memperkuat legitimasi sosial, dan mendukung pencapaian SDGs, khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan, kesetaraan gender, pekerjaan layak, serta perlindungan ekosistem daratan.
Potensi dan Manfaat Penerapan SNP BHR di Sektor Sawit Penerapan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Bisnis dan HAM di sektor perkebunan sawit Kalimantan Barat memiliki potensi besar untuk memperbaiki berbagai persoalan struktural yang selama ini menghambat terciptanya industri sawit yang berkelanjutan dan adil. Manfaat utama yang dapat dicapai meliputi berbagai aspek penting. Pertama, penerapan SNP BHR dapat memperkuat perlindungan hak buruh. Dengan mendorong perusahaan untuk melakukan uji tuntas HAM, SNP BHR memastikan pekerja sawit khususnya buruh harian lepas, perempuan, dan buruh kontrak mendapatkan perlindungan yang lebih baik atas hak-hak dasarnya, seperti upah layak, status kerja yang pasti, jaminan kesehatan, dan kebebasan berserikat. Kedua, SNP BHR berpotensi mencegah dan menyelesaikan konflik lahan. Prinsip penghormatan terhadap hak masyarakat adat dan lokal, termasuk penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), menjadi landasan penting untuk mencegah sengketa agraria yang sering timbul akibat ekspansi perkebunan. Ketiga, SNP BHR dapat meningkatkan standar keberlanjutan industri sawit. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip HAM, perusahaan sawit tidak hanya memenuhi standar nasional seperti ISPO, tetapi juga meningkatkan daya saing di pasar global yang semakin menuntut standar keberlanjutan berbasis HAM, seperti RSPO dan ketentuan rantai pasok internasional (NDPE Policy). Keempat, penerapan SNP BHR mendorong keadilan gender di tempat kerja. SNP BHR menuntut perusahaan untuk melindungi hak pekerja perempuan, termasuk hak atas cuti melahirkan, keselamatan kerja, dan perlindungan dari kekerasan berbasis gender, yang selama ini masih sering diabaikan dalam sistem ketenagakerjaan sektor sawit. Kelima, implementasi SNP BHR dapat mempercepat pencapaian berbagai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan (SDG 1), kesetaraan gender (SDG 5), pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (SDG 8), pengurangan ketimpangan (SDG 10), serta aksi iklim dan perlindungan kehidupan di darat (SDG 13 dan SDG 15). Terakhir, penerapan SNP BHR juga memperkuat legitimasi sosial dunia usaha. Perusahaan yang menghormati HAM lebih mudah mendapatkan dukungan dari komunitas lokal, pekerja, konsumen, serta akses pasar global, yang pada akhirnya memperkuat keberlangsungan bisnis mereka dalam jangka panjang.
Hambatan dan Tantangan Implementasi Meskipun penerapan SNP Bisnis dan HAM di sektor sawit Kalimantan Barat menjanjikan banyak manfaat, realisasi di lapangan tidaklah mudah. Ada berbagai hambatan struktural, budaya, dan politik yang perlu diantisipasi bersama. Salah satu tantangan utama adalah rendahnya kepatuhan perusahaan terhadap standar HAM. Berdasarkan temuan Teraju Indonesia, banyak perusahaan sawit masih mengabaikan hak-hak dasar buruh. Praktik pemotongan upah sepihak, status kerja tidak tetap, diskriminasi terhadap pekerja perempuan, dan minimnya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) mencerminkan lemahnya komitmen korporasi terhadap penghormatan HAM. Selain itu, ketiadaan sanksi tegas dan lemahnya penegakan hukum turut memperburuk situasi. Minimnya konsekuensi hukum terhadap pelanggaran HAM membuat banyak perusahaan merasa tidak perlu melakukan perbaikan. Pengaduan ke lembaga pemerintah sering kali tidak ditindaklanjuti secara efektif, dan mekanisme penegakan hukum di tingkat lokal masih lemah. Represi terhadap kebebasan berserikat juga menjadi persoalan serius. Serikat buruh di sektor sawit kerap menghadapi intimidasi, praktik union busting, bahkan kriminalisasi oleh perusahaan. Tanpa kebebasan berserikat yang kuat, buruh kesulitan memperjuangkan hak-haknya atau menuntut penerapan prinsip-prinsip HAM di tempat kerja. Kurangnya pemahaman dan kapasitas tentang SNP BHR di kalangan pemerintah daerah, perusahaan, maupun masyarakat turut menjadi penghambat. Tanpa pemahaman yang cukup, penerapan standar ini berisiko menjadi sekadar formalitas administratif tanpa perubahan substantif di lapangan. Konflik lahan dan pengabaian hak masyarakat adat juga masih banyak terjadi. Ekspansi perkebunan sering kali dilakukan tanpa konsultasi yang layak, sehingga hak atas tanah, identitas budaya, dan sumber kehidupan masyarakat lokal kerap terabaikan, menimbulkan ketegangan sosial yang berkepanjangan. Tantangan lain adalah resistensi dari industri dan kepentingan ekonomi. Sebagian asosiasi dan pelaku industri besar masih melihat penerapan HAM sebagai beban tambahan, bukan sebagai bagian dari tanggung jawab bisnis. Ada kekhawatiran bahwa penerapan standar tinggi akan menghambat ekspansi dan meningkatkan biaya operasional. Terakhir, keterbatasan koordinasi lintas sektor turut menjadi kendala. Implementasi SNP BHR membutuhkan sinergi antara dinas perkebunan, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan aparat penegak hukum. Sayangnya, koordinasi lintas sektor sering kali tidak efektif, tumpang tindih, atau berjalan sendiri-sendiri.
Upaya Kolektif yang Dibutuhkan Mengatasi berbagai tantangan implementasi SNP Bisnis dan HAM di sektor perkebunan sawit Kalimantan Barat membutuhkan upaya kolektif dari semua pemangku kepentingan. Kolaborasi yang kuat, konsisten, dan berbasis hak asasi manusia adalah kunci untuk memastikan perubahan yang nyata. Pemerintah daerah memiliki peran sentral dalam mendorong perubahan ini. Mereka perlu mengintegrasikan SNP BHR ke dalam regulasi daerah, seperti melalui penyusunan Rencana Aksi Daerah Bisnis dan HAM (RAD BHAM) dan penguatan standar perizinan sawit berbasis HAM. Selain itu, pemerintah daerah harus membentuk dan memperkuat mekanisme pengaduan serta pemulihan berbasis komunitas untuk menangani kasus pelanggaran buruh dan konflik lahan. Meningkatkan kapasitas dinas teknis di bidang HAM, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan perkebunan juga menjadi langkah penting untuk memastikan respons yang lebih cepat dan efektif terhadap pelanggaran. Di sisi lain, perusahaan perkebunan harus menerapkan uji tuntas HAM dalam seluruh rantai bisnis dan operasional mereka, termasuk kepada mitra plasma dan subkontraktor. Perusahaan juga perlu membangun mekanisme konsultasi yang bermakna dengan buruh dan komunitas lokal, serta menghormati kebebasan berserikat dan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Tidak kalah penting, revisi terhadap kebijakan internal untuk menjamin nondiskriminasi, perlindungan hak maternitas, keselamatan kerja, dan upah layak perlu dilakukan secara menyeluruh.
Serikat buruh dan komunitas lokal juga memainkan peran penting dalam memperkuat advokasi HAM di sektor ini. Mereka perlu meningkatkan kapasitas organisasi untuk melakukan dokumentasi pelanggaran dan memperjuangkan hak melalui negosiasi perjanjian kerja bersama (PKB) yang berbasis HAM. Membentuk koalisi serikat dan komunitas lintas daerah dapat memperkuat posisi tawar mereka dalam dialog dengan perusahaan dan pemerintah. Selain itu, kampanye publik yang lebih intensif perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak buruh dan masyarakat lokal. Organisasi masyarakat sipil (LSM) diharapkan menyediakan pendampingan hukum, melakukan advokasi, dan menggelar kampanye internasional untuk menekan perbaikan praktik bisnis perusahaan. Selain itu, LSM perlu mendukung pengawasan independen terhadap implementasi prinsip-prinsip HAM di sektor sawit dan menghubungkan serikat serta komunitas lokal dengan jaringan advokasi global untuk memperkuat solidaritas dan tekanan internasional. Komnas HAM dan pemerintah pusat perlu memfasilitasi harmonisasi SNP BHR ke dalam regulasi nasional sektor sawit dan pembangunan berkelanjutan. Mereka juga diharapkan mendukung pilot project implementasi SNP BHR di Kalimantan Barat sebagai contoh nasional, serta memperkuat perlindungan bagi para pejuang HAM dan aktivis buruh untuk mencegah kriminalisasi dan represi. Akhirnya, media dan akademisi memiliki peran strategis dalam mengawal perubahan ini. Media perlu mendorong pemberitaan kritis dan berbasis bukti tentang kondisi buruh dan masyarakat di sektor sawit, sedangkan akademisi diharapkan melakukan penelitian partisipatif yang menyoroti praktik baik maupun pelanggaran HAM, sekaligus memberikan rekomendasi berbasis data untuk perbaikan kebijakan di masa depan.
Penutup: Kalimantan Barat sebagai Model Nasional Implementasi Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Bisnis dan HAM di sektor perkebunan sawit Kalimantan Barat merupakan peluang emas untuk membangun model industri sawit berkelanjutan yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkeadilan sosial. Dengan sejarah panjang ketimpangan, pelanggaran hak buruh, konflik lahan, dan eksploitasi sumber daya alam, Kalimantan Barat memahami betul pentingnya pendekatan baru yang berbasis pada penghormatan terhadap hak asasi manusia. Melalui penerapan SNP BHR, seluruh pemangku kepentingan pemerintah daerah, perusahaan, serikat buruh, komunitas lokal, LSM, dan dunia akademik memiliki kesempatan untuk memperbaiki tata kelola sektor sawit secara menyeluruh. Transformasi ini akan mendukung pencapaian berbagai tujuan SDGs, memperkuat legitimasi sosial dunia usaha, dan membuka akses ke pasar global yang semakin selektif terhadap komoditas berkelanjutan dan beretika. Namun, keberhasilan ini tidak akan datang dengan sendirinya. Diperlukan komitmen politik yang kuat, kolaborasi lintas sektor, konsistensi dalam penegakan hukum, dan keberanian untuk menempatkan HAM di jantung pembangunan ekonomi. Kalimantan Barat, dengan segala tantangannya, berpotensi menjadi pionir nasional dalam membuktikan bahwa pembangunan ekonomi berbasis sawit dan penghormatan hak asasi manusia bukanlah dua hal yang bertentangan melainkan fondasi untuk masa depan yang lebih adil, lestari, dan bermartabat.
No Comments