Bencana Ekologis, Dan Eksploitasi Buruh Perkebunan Sawit Di Kalimatan Barat

Bencana Ekologis, Dan Eksploitasi Buruh Perkebunan Sawit Di Kalimatan Barat

Bencana ekologis  saban waktu atau tahun terus terjadi,  namun tidak satupun yang berbicara pada akar masalah dan atau pembuat kebijakan mengakui kelalaian dalam membuat kebijakan ekonomi yang eksploitasi Sumber daya alam sehingga bencana Ekologis terus saja terjadi. Ya, emang Betol bencana ini terjadi hampir di semua Propinsi dan negara yang disebut dengan perubahan Iklim Global. Perubahan iklim terjadi karena laju produksi dari industri-industri besar dari negara-negara industri seperti amerika, eropa, amerika, cina, korsel, rusia dan negara-negara yang menggenjot Pembangunan ekonomi berbasis pada industri padat barang baku, yang memerlukan bahan-bahan baku untuk pembuatan peralatan atau teknologi dalam mempercepat proses produksi. Untuk di itu juga pasti memerlukan energi fosil yang cukup besar.

 

Menurut BMKG di lamannya pada tahun 2023 telah terjadi kemarau yang Panjang dan cuaca ekstrem di berbagai wilayah Indonesia. Meski tahun 2023 telah berakhir, dampak EL Nino disebut akan berlanjut di tahun 2024, ujar deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan. Dilanjutkan El Nino Pada tahun 2024 dapat menyebabkan kenaikkan Suhu di Indonesia Secara Gradual atau bertahap ( http;//www.kompas.com). Kondisi ini penting semua pihak melakukan mitigasi dan memperkuat imun dan menjaga Kesehatan fisik.

 

Apa Penyebab Krisis Iklim  

Sebagian besar energi listrik masih dihasilkan dengan membakar batu bara, minyak, atau gas. Manufaktur dan industri menghasilkan emisi, yang sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi guna membuat berbagai hal seperti semen, besi, baja, elektronik, plastik, pakaian, dan barang lainnya. Pertambangan dan proses industri lainnya juga menghasilkan gas, begitu pula industri konstruksi. Mesin yang digunakan dalam proses manufaktur sering kali beroperasi dengan batu bara, minyak, atau gas. Selain itu, sejumlah bahan baku seperti plastik juga terbuat dari bahan kimia yang berasal dari bahan bakar fosil.

 Industri manufaktur merupakan salah satu kontributor emisi gas rumah kaca terbesar di seluruh dunia (https://indonesia.un.org/id/175273-penyebab-dan-dampak-perubahan-iklim#pembuatan_energi). tidak hanya keperluan untuk energi dan industri manufaktur yang menjadi penyebab perubahan iklim, namun juga industri  pangan, Kosmetik, pakaian, kendaraan dll. Sebagian besar bahan baku untuk energi dan industri manufaktur serta kebutuhan pangan, kosmetik pakaian dll berasal dari tanah Hutan, artinya dapat dikatakan penyebab utama dari perubahan iklim adalah eksploitasi tanah Hutan secara besar-besaran/ Bar-bar. Eksploitasi Tanah hutan di buat legal dengan menerbitkan regulasi demi mempercepat perencanaan deforestasi. Tentu hal tersebut beriringan dengan perampasan Tanah di wilayah masyarakat adat/ local, dan petani.

 

Dampak Exploitasi Tanah Hutan

Terjadi perubahan Iklim yang mengerikan, gelombang panas yang menyebabkan banyak negara yang mengalami kekeringan dan kebakaran hutan-hutan, krisis air bersih, gagal panen,dan  Penyakit. Kemudian Banjir , tanah longsor, angin puting beliung/ badai angin , gempa bumi, naiknya permukaan air laut karena mencairnya bongkahan es didaerah kutub, cuaca ekstrem dengan hujan yang intensitas tinggi yang menyebabkan banjir, walau terjadi hujan namun suhu udara cukup panas ( hujan kering). Bencana-bencana yang terjadi akan menyebabkan kerugian negara/ pemerintah terutama pembiayaan kebencanaan. Perubahan iklim akan Akan memberi dampak yang multiefek, hal tersebut  akan mengurangi hasil produksi masyarakat baik petani yang akan gagal panen atau tidak bisa produksi karena kekeringan yang dilanjutkan kelebihan air sehingga banjir. Tidak hanya itu, banjir akan mematikan produksi yang berujung pada turunnya daya beli masyarakat dikarenakan tidak ada hasil produksi dan masyarakat tidak dapat belanja ke pasar-pasar, sehingga pemutaran uang tidak berjalan. Tidak hanya memenuhi kebutuhan pokok, penjualan energi seperti BBM pun tidak akan memenuhi target justru terjadi penurunan penjualan.

Dalam jurnal Nature Communications yang dikutip Media cnbc Indonesia, di jelaskan kerugian dari krisis iklim global telah mencapai US$391 juta atau setara Rp 62,21 triliun per hari ( Kurs = 15.900/dolar As). Disebutkan juga kerugian per tahun $143 miliar , mayoritas kerugian tersebut 63% disebabkan kehilangan nyawa dan sisanya berasal dari hilangnya harta benda masyarakat. Artinya kerugian rata-rata kurang lebih 100 milyar sejak tahun tahun 2000 hingga 2019. Badan Penanggulangan Bencana Nasional ( BPBN) Di Indonesia kerugian akibat bencana 2018 adalah Rp 58 triliun, yang menjadi terbesar sejak tahun 2013. tahun 2021 kerugian bencana sebesar Rp 11,6 triliun, kerugian tersebut lebih besar 9 x dari APBD Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak.

Krisis iklim yang terjadi, menjadi perhatian yang serius dari para ahli di seluruh Dunia dan juga para Pemerhati Sosial dan Lingkungan di seluruh negara. Namun belum menjadi perhatian serius  oleh pemimpin negara. Perhatian hanya diletakan kontek Pembangunan dengan slogan berkelanjutan dan slogan warna hijau, sementara aksi nyata masih terus melakukan eksploitasi Sumber Daya alam yang tersisa, hal ini terjadi secara umum di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Indonesia sebagai negara kepulauan dan agraris tidak lepas dari bencana ekologis yang dikarenakan eksploitasi Sumber daya alam demi Pembangunan. Dari data angka BPBN Pemerintah pusat seharusnya melakukan evaluasi yang menyeluruh dari investasi berbasis eksploitasi sumber daya alam. Kerugian negara karena krisis iklim dari tahun 2013 hingga 2022 ( 9th) sebesar Rp 103,94 triliun. Kerugian Negara akibat dari krisis iklim untuk kebencanaan 19 x lebih besar dari APBD Provinsi Kalimantan Barat th 2021.

 

Pembangunan berkelanjutan apakah ada?

Pembangunan Berkelanjutan yang menjadi perhatian pemerintah adalah sektor Perkebunan sawit, Perkebunan Akasia/ atau ekaleptus ( HTI) dan pertambangan. Artinya lebih pada aspek Lingkungan atau kehutanan untuk menciptakan Pembangunan berkelanjutan. Nah sementara rejim hari ini masih berkutat pada eksploitasi tanah hutan untuk Invetasi ekstrative, jadi kemungkinan deforestasi akan masih terjadi demi investasi ektrative. Kerja kementerian Kehutanan dan lingkungan hidup untuk menjaga dan melindungi Tanah Hutan karena kerusakan nya telah memberikan dampak kerugian yang besar, namun kerja keras tersebut kalah dengan kepentingan Oligarki, sehingga banyak perusahaan yang menggarap Kawasan hutan diduga akan diPutihkan dengan kata lain dimaafkan atas kesalahan dan pelanggaran UU dan peraturan, ini semua demi keuntungan oligarki dan Investasi.

 

Sementara Aspek manusia menjadi luput, terutama adalah manusia yang menjadi korban dan yang memberikan keuntungan bagi oligarki dan Perusahan ekstrative SDA. Ada 2 komunitas sebagai korban dan telah berjasa memberikan keuntungan bagi oligarki dan perusahan ekstrative SDA, yaitu Pekerja/ Buruh dan Masyarakat adat. Ketika perusahan Perkebunan Sawit dll datang di wilayah masyarakat adat berbekal izin yang diberikan oleh pemerintah, di sertai dengan janji manis yang membuai. Kemudian dengan keluguan dan kepolosan yang di landasan kepercayaan masyarakat adat kepada pemerintah dan perusahan yang telah membius masyarakat dengan janji manisnya, masyarakat pun bersedia tanah hutan dalam wilayah adatnya dilepas ke perusahan untuk di usahkan dan di mitrakan.

 

Dari sini kemudian lahir Pekerja/ buruh dari masyarakat adat/ lokal yang telah berharap bisa Sejahtera dengan menjadi mitra plasma perusahan. Eksploitasi terhadap pekerja/ buruh pun berlangsung, bagi hasil mitra plasma di atas 1 juta per bulan pun tinggal mimpi, menjadi pekerja/ buruh di Perkebunan pun di eksploitasi. Pada hal pada saat terjadi pandemic Covid Pekerja / buruh tetap bekerja/ berproduksi, sehingga ada pendapatan negara dan juga menambah Pundi-pundi kekayaan Pemilik perusahan. Oh iya apa bentuk eksploitasi nya, banyak buruh yang masih berstatus buruh/ pekerja tanpa status yang jelas, walau sudah bekerja diatas 5 tahun, Tidak didaftarkan ke BPJS -BPJS tenaga kerja, masih terdapat upah di bawah UMP/ UMR, Buruh-buruh Perempuan tidak mendapatkan cuti haid dan melahirkan.

 Tidak Terpenuhinya K3 oleh perusahaan, sehingga ada buruh yang harus meninggal karena keracunan pupuk kimia.Diskusi kami dengan para pekerja/ buruh, dengan pertanyaan apakah saat terjadi banjir di lokasi kebun atau pemukiman buruh tetap bekerja atau tidak berkerja upah tetap dibayar? Penjelasan Pekerja atau buruh adalah diwajibkan absen / pinger print , jika tidak melakukan hal tersebut dianggap mangkir/ tidak masuk kerja ,sehingga upah tidak dibayarkan atau lebih berat bisa kena SP dan diberhentikan. Namun sayang pekerja/ Buruh sebagai aktor utama dalam sektor Perkebunan sawit berkelanjutan tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, sehingga sampai saat ini tidak ada satupun regulasi yang khusus untuk perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh Perkebunan sawit yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah. Bahkan dalam penyusunan rencana kerja Aksi Perkebunan sawit berkelanjutan pekerja/ buruh Perkebunan sawit luput masuk dalam draf seperti perda dan atau regulasi yang akan diterbitkan dan yang telah disahkan oleh pemerintah. Tentunya hal tersebut sangat ironis, padahal dalam Pembangunan berkelanjutan yang masuk dalam penilaian SDGS Tujuan 8 memiliki tujuan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua.

 

Pertanyaannya, apakah tujuan SDGs sudah terwujud di sector Perkebunan sawit, Khusus Bagi Buruh/ Pekerja?

Pekerja/ Buruh dan masyarakat adat adalah aktor utama dalam mewujudkan Perkebunan sawit berkelanjutan, namun ironis eksploitasi terhadap Pekerja/ Buruh dan masyarakat adat tetap berlangsung tanpa ada jaminan perlindungan dari negara. Pekerja/ Buruh dapat menjaga areal berhutan, apa lagi areal tersebut merupakan sumber-sumber air bersih, udara bersih dan tempat bukti-bukti Sejarah keberadaan masyarakat adat sesuai NKT/ HCV 5-6, namun Pekerja/Buruh di paksa dan  terpaksa menggusur areal berhutan, kenapa tetap menggusur karena tidak ada jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja/ Buruh tersebut. Ketika mereka menolak perintah menggusur hutan yang tersisa ancaman yang akan diterima pekerja/ buruh terbagi, yang agak ringan di Mutasi, dan  Upah tak dibayarkan, Ancaman di SP berujung pada PHK tanpa pemerian Hak-haknya, dengan alasan melawan perintah Pimpinan  dan melanggar Peraturan Perusahan.Gambar di atas menjadi jelas bahwa Upaya pemerintah dalam mewujudkan Perkebunan sawit berkelanjutan akan sia-sia karena tidak ada Pelibatan Pekerja /Buruh dan tidak adanya regulasi yang melindungi Pekerja dari ancaman yang akan diterima dari manajemen Perusahan. Hal demikian juga sama terhadap Masyarakat adat yang wilayah Kelola hidupnya di masukkan dalam ijin-ijin usaha perkebunan dan Usaha ekstraktif lainya. Bahkan bisa terjadi Hutan yang tersisa di buka oleh Masyarakat adat untuk dijadikan sumber penghasil demi terpenuhinya kebutuhan hidup, hal ini dikarenakan janji Manis bermitra plasma perusahan hanya berupa mimpi dan Halusinasi belaka.

 

Gambar umum atas Kondisi Pekerja/ Buruh dan Masyarakat adat di dalam kotak Pandora Investasi ekstrative Sumber daya alam yang terjadi , Kondisi tersebut hampir merata terjadi di perusahan perkebunan besar di Kalimantan Barat dan tidak menutup  kemungkinan terjadi di Perkebunan Besar di Provinsi Kalteng,Kalsel, Kaltim,Kaltara, Sumatera, Sulawesi dan Papua.  Pembangunan berkelanjutan harus, Setara, transparan, jujur  dan pemenuhan hak-hak Masyarakat sesuai dengan UUD 1945 , UU HAM 39 th 1999 serta berkeadilan sosial bagi masyarakat adat, Pekerja/ Buruh dan masyarakat marginal lainya.

 

Salam

 

No Comments

Post A Comment