Kungkungan Penderitaan Buruh Perempuan Perkebunan Sawit

Kungkungan Penderitaan Buruh Perempuan Perkebunan Sawit

Catatan Perjalanan R. Andreas

 

Waktu menunjukkan pukul 8.30WIB, perjalanan melintasi jalan Trans Kalimantan yang mulus beraspal. Ya, sedikit-sedikit sudah ada yang mulai rusak karena dimakan usia. Dari ibukota provinsi Kalimantan Barat menuju Kabupaten Ketapang, untuk melihat keindahan Kota Ale-Ale (makanan khas Ketapang). Perjalananku menggunakan roda dua dengan kecepatan standar saja, sehingga bisa menikmati perjalanan menuju kota Ketapang. Kurang lebih 490 km dari Pontianak dan memakan waktu sekitar 8 sampai 9 jam perjalanan. Untuk menuju Ketapang melalui jalan darat kita akan melewati dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kubu Raya dan Sanggau. 15 tahun lalu untuk menuju kota Ketapang kita akan memakan waktu berhari-hari bahkan menginap di jalan karena kondisi infrastruktur jalan yang masih tanah dan ketika musim hujan akan berlumpur, sedangkan di musim kemarau akan berdebu tanah.

 

Tiba waktunya untuk istirahat maka aku pun berhenti. Jam 12.45 wib saya tiba dan beristirahat menegakkan badan di salah satu rumah kawan yang berada di perbatasan antara Sanggau dan Ketapang. 

 

“Kenapa air sungai ini semakin keruh bro?”, tanya saya.

 

 

Dia menjawab bahwa hulu sungai sebagian telah dibuka hutannya oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan sawit. Sayang sekali, air yang dulu jernih kini menjadi keruh dan suhu di kampung yang dulu sejuk kini sudah panas walau masuk musim penghujan.

 

 

Dari rumah temanku, aku pergi sebentar bermaksud untuk mencari warung untuk membeli rokok yang sedari tadi sudah habis diperjalanan. Setibanya di warung, aku bertemu dengan  ibu-ibu yang membeli air es. Dengan sopan saya permisi ke ibu-ibu itu untuk membeli barang dan memberanikan diri bertanya.

 

 

“Dari mana bu?” tanyaku.

 

 

“Pulang kerja dari kebun sawit.” jawabnya. 

 

 

“Oh.” balasku lagi.

 

 

Dalam hati, pantas wajah mereka penuh lelah, namun tetap ibu-ibu ini berusaha menutup kelelahan yang terlihat di wajah mereka dengan senyum.

 

Melihat raut kelelahan dari wajah ibu-ibu ini, saya yang tadi ingin langsung pulang ke rumah kawan entah kenapa bertanya lagi ke ibu-ibu tersebut dengan beberapa pertanyaan. 

 

 

“Kerja dari jam berapa bu, naik apa ke kebun dan balik dari kebun pakai apa?” tanyaku dengan sangat ingin tau

 

 

“Kami berangkat dari rumah awal jam 5 subuh kami sudah berangkat, karena sebelum kerja kami harus apel pagi, fingerprint dan baru kerja. Jadi jam 6 pagi sudah harus di tempat karena biasa jam 7 sudah bekerja.” jawabnya.

 

 

“Ke kebun Bersama suami, karena suami juga bekerja di kebun sawit perusahaan.” sambungnya.

 

 

“Ibu-ibu bekerja di bagian apa?”tanyaku lagi

 

 

“Ada yang bagian pemupukkan, perawatan, pembibitan dan ada pula yang merangkap pekerjaan.”

 

Tiba-tiba datang seorang perempuan menggunakan motor sport dengan berpenampilan layaknya seperti seorang rider motor yang sedang melakukan touring dengan helm standar, jaket kulit hitam, sepatu boot dan sarung tangan setengah kulit. Setelah memarkirkan motor, ibu ini menyapa ibu-ibu buruh yang lainnya dengan suara yang cukup tegas namun datar. Sapaannya disambut ibu-ibu yang lain dengan senyuman dan candaan. Panggil saja ibu tersebut Bu Daun  (bukan nama sebenarnya). Tiba-tiba dia bertanya, 

 

“Bapak siapa, dari mana dan hendak kemana?” 

Saya pun menjawab apa yang ditanyakan. Kemudian saya sampaikan juga tadi saya bertanya dengan ibu-ibu tentang pekerjaan dan lainnya. Setelah mendengar jawaban saya dengan tatapan yang tajam, beliau pun mengatakan ini perusahaan bernama PT. Aditya Agroindo, EHP Group ada juga mengatakan milik Asian Agri, entah mana yang benar katanya.

 

Masih dengan tatapan mata yang tajam kearah saya, ia kembali bertanya

 

“Anda bukan aparatkan?” 

 

“bukan, saya orang biasa aja, yang mau Ketapang, pulang kampung, singgah sebentar dirumah kawan saya yang di ujung jalan, karena kehabisan rokok saya ke warung ini dan beli rokok.” jawabku dengan senyum.

 

Dia masih menatap dengan tajam ke diriku. Namun dari sorot mata dan raut wajah, terlihat ada amarah, kesedihan dan trauma mendalam, pikirku dengan pengetahuan psikologi seadanya menilai orang. 

 

Rokok yang sudah ku bakar sebatang akhirnya ku matikan. Dengan tatapan tajam dan mengawasi terus melihat tiba-tiba Ibu Daun (bukan nama sebenarnya) berkata, 

 

“Perusahan tidak baik, kami ini, buruh perempuan yang telah bekerja cukup lama, saya sendiri sudah lebih 6 tahun bekerja, ibu-ibu ini sudah bekerja lebih lama dari saya. Namun status kami masih Buruh Harian lepas, padahal kami bekerja menetap.”

 

“Hak-hak kami pun sebagai buruh sering abai diberikan bahkan tidak diberikan oleh pihak perusahaan dengan alasan karena buruh harian. Bahkan jika terjadi kecelakaan kerja pun perusahan tidak peduli terhadap buruh yang mengalaminya. Bahkan buruh harus berobat dengan mengeluarkan biaya sendiri.” 

 

“Itu ibu aby, bekerja sudah lebih 8 tahun status BHL dan bekerja 2 tahun bagian satu, kemudian dipindahkan ke tempat lain, 2 tahun atau 3 tahun dipindahkan lagi ke tempat lainya. bahkan kini dia bekerja rangkap, pemupuk iya, perawatan iya, brondol iya juga, angkut pupuk iya juga, pokoknya semua dikerjakan jika ada perintah dari mandor dan asisten kebun.” tutur Ibu Daun kepadaku dengan berapi-api.

 

“Saya dan suami juga pernah mengalami kecelakaan kerja. Saat melapor ke perusahaan justru di persulit dan dipersalahkan, seakan-akan suami saya yang salah. Padahal saat itu suami saya sedang membawa buah sawit setelah dipanen lewat titian yang terbuat dari kayu, tiba-tiba titian itu patah dan dagu suami saya dihantam kayu, sehingga pecah dagunya yang membuat suami saya pingsan dan luka parah, namun tidak dipedulikan oleh perusahaan. Ketika kita melapor, justru dikatakan itu kesalahan kami karena tidak  mengecek dulu jembatan kayu tersebut.” cerita bu aby menyambung yang disampaikan oleh bu Daun.

 

Bu Daun menyambung lagi cerita dengan masalah yang dialaminya. Sebelum cerita beliau menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan ceritanya.

 

“Saya tidak kenal bapak atau abang, namun saya mau menceritakan bagaimana penderitaan kami buruh perempuan di perkebunan sawit PT. Aditya ini, supaya lega dan berharap Tuhan kasih kekuatan kepada bapak untuk bisa menceritakan kembali apa yang kami sampaikan kepada pihak manapun, karena kami tidak paham peraturan kami tidak tahu undang-undang dan ada di antara kami buruh perempuan bahkan tidak bisa baca tulis. Itu yang juga yang membuat kami takut untuk bicara dengan orang lain, entah kenapa kami mau membicarakan ini dengan bapak.” ungkap bu Daun.

 

Dengan mata yang berkaca-kaca memendam kesedihan dan amarah, bu Daun memulai ceritanya, 

 

“Saya bekerja di perusahaan ini sudah lebih 6 tahun. Dan selama 6 tahun kerja, status saya dan suami masih dianggap oleh perusahan sebagai buruh harian lepas. Pernah waktu bulan Oktober 2018 saya dalam kondisi hamil tua dan akan melahirkan. Saya tetap bekerja karena status yang masih BHL, saya harus bekerja terlebih dahulu untuk biaya persalinan. Jika saya tidak bekerja maka saya tidak akan dapat tambahan biaya untuk bersalin. Jika kami minta cuti untuk melahirkan maka hak-hak kami tidak akan dibayarkan oleh perusahan atau kami tidak akan mendapatkan upah. Sehingga dengan sangat terpaksa saya harus bekerja begitu juga dengan suami saya. Saat akan bekerja perut saya sudah merasa sakit, lama kelamaan sakitnya semakin kuat, karena sudah waktunya mungkin untuk melahirkan. Saya dan suami, menuju kantor untuk meminjam ambulance untuk mengantar saya ke rumah sakit atau Puskesmas di Balai Bekuak. Namun respon dari pihak manajemen perusahan berbelit-belit harus ada ijin dari bagian ini, surat ijin harus ada dibawa ke sana dan inilah itulah. Sementara salah satu bagian tangan kiri anak saya telah keluar. Dengan sakit yang luar biasa, saya bilang sama suami ya sudah kita pinjam atau sewa mobil pribadi orang saja. Karena sakit yang sudah tak tertahan serta tangan kiri bayi saya telah keluar, saya merapatkan paha dan kaki saya. Ketika dapat mobil sewaan kami langsung menuju puskesmas di Balai bekuak, sekitar jam 10 malam kami tiba. Baru 2 menit tiba, saya diletakkan di tempat tidur dan dibawa ke bangsal, bayi saya langsung keluar. Namun ternyata, bayi saya telah meninggal. Bayi saya telah meninggal, pak.”

 

Dengan mata yang berkaca-kaca dan menahan rasa, bu Daun melanjutkan ceritanya. 

 

“Setelah kejadian tersebut pun tidak ada kepedulian dan tanggung jawab dari pihak perusahaan. Bahkan 1 minggu setelah melahirkan saya diminta pihak perusahaan untuk bekerja lagi. Seluruh biaya yang kami keluarkan selama persalinan harus kami bayar sendiri, tidak ada kepedulian dan bantuan dari pihak perusahan. Masuk 4 tahun peristiwa ini pak, dan saya masih sangat ingat, karena sakitnya hati dan jahatnya manajemen perusahan PT. Aditya kepada saya, sampai anak saya meninggal saat dilahirkan. Saya percaya ini keinginan Tuhan, namun yang tidak dapat saya terima adalah begitu jahatnya manajemen perusahaan kepada kami dan buruh perempuan yang lainnya.” 

 

Dengan tertunduk karena tak kuat mendengar cerita dan melihat mata bu Daun yang berkaca-kaca, aku mencoba menahan rasa amarah atas peristiwa ini. Dalam hatiku bertanya, kenapa tega perusahan ini, dan kenapa tidak ada yang membela ibu ini dan kenapa baru hari ini saya dapat cerita yang sangat menyedihkan dan miris ini. Sambil berdoa kepada Tuhan supaya di berikan kekuatan untuk dapat membantunya dan ibu-ibu buruh yang lainnya.

 

“Bu, maaf saya bertanya, apakah ibu telah menyampaikan atau melaporkan masalah ini ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Ketapang atau dewan pengawas tenaga kerja?” tanyaku

 

“Tidak saya sampaikan.” tegasnya.

 

“Tidak saya sampaikan, karena saya tidak tahu caranya. Ketika kami melapor ke dinas tenaga kerja, belum tentu direspon olehnya. Justru nanti saya dan suami saya akan di PHK oleh pihak perusahan, itu yang menjadi ketakutan kami.” sambungnya lagi

 

“Disini apakah ada serikat buruh bu? Setahu saya jika ada serikat buruh maka tugas utamanya adalah membela, memperjuangkan hak-hak buruh.” tanyaku lagi.

 

“Ada pak, namun serikat buruh kami baru, dan selama hampir 3 bulan serikat buruh kami belum mendapatkan kepastian dari pemerintah Kabupaten Ketapang perihal pendaftarannya. Padahal yang saya tahu, seluruh syarat telah dipenuhi dan syarat tersebut sudah 2 kali dikirim oleh pengurus serikat ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Ketapang, namun sampai saat mereka belum mengeluarkan surat pencatatan pendaftaran serikat. Kami pun tak tahu lagi mau melaporkan kemana pak dengan banyak masalah buruh di perusahaan ini.” tutupnya.

Dengan kegundahan hati, aku pun mengucapkan terima kasih ke ibu-ibu yang telah mau berbagi cerita kepahitan atas penindasan, kesewenang-wenangan perusahaan terhadap buruh terutama buruh perempuan. Apa lagi yang dialami oleh bu Daun, yang harus kehilangan anaknya ketika dilahirkan, karena kesewenangan pihak perusahaan. Setelah pamit, saya menuju rumah kawan dimana motor saya diparkirkan dan tempat saya beristirahat melepas lelah perjalanan. cerita bu Daun melekat kuat di ingatan saya, dengan pertanyaan ke diriku, apa yang harus dilakukan untuk membantu ibu-ibu buruh perkebunan sawit di PT. Aditya anak perusahaan Asian agri ini.

Setibanya aku di rumah kawan. 

 

“Woi coi lama benar beli rokoknya.” teriakan kawan dari dalam rumah. 

Saya pun masuk kedalam, sambal menghisap rokok, dan tak lupa menyeruput kopi hitam tanpa gula yang sudah dingin. Saya sampaikan bahwa tadi saya mendengarkan keluh kesah ibu-ibu buruh perkebunan sawit yang bekerja di PT. Aditya. Begitu banyak masalahnya, manajemen perusahan PT. Aditya mengabaikan hak-hak pekerja/buruh, bahkan ada indikasi melanggar hak asasi manusia. 

 

“Aku sebutkan ya satu persatu, dan tolong dirimu catat siapa tahu kita bisa bantu, apalagi kita ini putra daerah Kalimantan Barat.”

Bergegas kawan saya mengambil buku dan kertas untuk mencatat masalah-masalah pengabaian hak-hak Buruh perkebunan sawit PT. Aditya.

 

“Status buruh, masih sebagai buruh harian Lepas, ibu-ibu sebut sampaikan mereka bekerja lebih dari 5 tahun, dan kerja yang menetap.”

 

“Terjadi kecelakaan kerja, pihak perusahaan tidak bertanggung jawab atau memfasilitasi pengobatan dan lain-lain, bahkan menyalahkan buruh yang mengalami kecelakaan kerja.”

 

“Masih ada buruh yang tidak didaftarkan  BPJS Kesehatan dengan alasan buruh harian, di UU Kesehatan nasional dan UU ketenagakerjaan wajib perusahaan mendaftarkan, tanpa melihat status buruh harian lepas atau buruh tetap.”

 

“Buruh perempuan tidak mendapatkan cuti haid, cuti akan melahirkan dan setelah melahirkan dengan alasan lagi-lagi karena buruh harian lepas.”

 

“Tidak adanya pemeriksaan kesehatan buruh secara berkala, artinya K3 di perusahaan tersebut tidak berjalan atau memang tidak ada, contoh Rumah Bilas bagi buruh pemupukan yang bersentuhan dengan zat-zat kimia di biarkan begitu saja.”

 

“Tidak ada pembayaran pesangon, jasa kerja dll bagi buruh yang di PHK atau yang mengundurkan diri karena dalam kondisi sakit atau sudah tua.”

 

“Buruh yang sakit selama bekerja di PT. Aditya tidak diurus oleh perusahaan, justru biaya perobatan dibebankan kepada buruh tanpa ada bantuan dari pihak perusahaan.”

 

“Ini yang sangat tidak manusiawi, buruh perempuan Bu Daun (bukan nama sebenarnya) masih bekerja saat akan melahirkan, karena perlu dana bersalin. Saat akan bersalin tidak dipinjamkan fasilitas ambulance untuk mengantar ke rumah sakit atau Puskesmas terdekat. Sehingga Bu Daun bersama suami harus menyewa mobil, dan yang terjadi karena lambatnya penangan terhadap ibu tersebut, tangan kiri bayi di dalam perut telah keluar dulu dan saat tiba di Puskesmas Balai Bekuak, begitu bayi tersebut dilahirkan sudah meninggal. Eh kurang lebih 1 minggu bu Daun sudah diminta bekerja kembali oleh manajemen perusahan PT. Aditya.”

 

“Kini mereka sedang membangun serikat buruh, namun dihalangi oleh pemerintah Kabupaten Ketapang dan sampai saat ini belum dikeluarkan no pencatatan terdaftar di disnaker. Disampaikan tadi bahwa mereka telah mengirimkan dokumen-dokumen syarat mendaftar secara lengkap, sampai kini sudah masuk 3 bulan tidak ada respon dari Disnaker Ketapang, bisa jadi ini dapat diindikasikan Union Busting yang dilakukan oleh Disnaker Ketapang dan melanggar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000, tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.”

 

“Bagaimana menurutmu, setelah mendengarkan dan mencatat apa yang aku sampaikan, yang merupakan percakapan singkat dengan ibu-ibu buruh perusahan perkebunan sawit PT. Aditya. Kita tidak bisa diam dengan kondisi ini bro. Ketika akan balik ke rumah nih, aku berpikir untuk menunda ke Balai Semandang. Saya akan coba membantu buruh-buruh disini untuk memperjuangan hak-hak mereka, sehingga hak-hak mereka terpenuhi dan perusahan dapat melakukan perbaikan dan bertanggung jawab atas setiap pelanggaran yang dilakukan.”

 

“Apakah dirimu akan ikut?” tanyaku kemudian untuk mengakhiri cerita ini.

 

 

Ketapang, 4 Desember 2022

R. Andreas

No Comments

Post A Comment